SEPUTAR CIBUBUR- Pernahkah Anda memperhatikan, warung‑warung Madura seakan tak mengenal jam istirahat?
Lampu neon menyala sepanjang malam, rak rokok dan mi instan selalu terisi, dan pintu kayu tipis yang disandarkan di sisi etalase terbuka 24 jam.
Fenomena ini tidak muncul begitu saja; ada jejak sejarah, strategi dagang, dan kebutuhan masyarakat yang melatarbelakanginya.
Baca Juga: 5 Orang Paling Berpengaruh Bagi Masa Depan Dunia Menurut SBY, Mulai dari Trump Hingga Xi Jinping
Jejak Awal: Perantauan dari Sumenep
Kisah warung Madura bermula antara awal 1990‑an hingga awal 2000‑an, ketika gelombang perantau asal Sumenep, Jawa Timur, menapaki Ibu Kota.
Saat pertama tiba di Jakarta, banyak di antara mereka berdagang peralatan bangunan berbahan kayu yang dipasok dari Kalimantan.
Sentra permukiman mereka berpusat di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Seiring usaha kayu itu maju, sanak saudara serta rekan sekampung ikut merantau.
Bentuk usaha pun meluas: dari kios material berubah menjadi toko kelontong.