UU HAM Mendesak Direvisi, Ini Alasannya

- 12 Agustus 2022, 23:05 WIB
Liona Nanang Supriatna, pakar hukum HAM yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (FH Unpar). Foto: unpar.ac.id
Liona Nanang Supriatna, pakar hukum HAM yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (FH Unpar). Foto: unpar.ac.id /

SEPUTAR CIBUBUR - Undang Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) mendesak untuk direvisi agar sesuai dengan pengaturan HAM yang telah berkembang pesat dalam forum internasional, apalagi belakangan muncul berbagai bentuk pelanggaran HAM yang kian bervariasi di dalam praktiknya.

Pendapat ini dikemukakan Dr Iur Liona Nanang Supriatna SH MH, pakar hukum HAM yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (FH Unpar) dalam acara Diskusi Pakar Terhadap Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang Undang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang diselenggarakan oleh Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI dan Badan Pembinaan Hukum Nasional serta FH Unpar di Kampus Ciumbuleuit 94 Bandung, Rabu (10/8/2022).


Hadir juga para dosen pengajar HAM FH Unpar antara lain, Adrianus Vito Ramon, Dyan Sitanggang, dan Anna Anindita.

Baca Juga: Polda Metro Jaya Gerebek Pengelola Situs Judi Online di PIK, Jakarta Utara
Menurut Liona, terdapat beberapa hal yang penting untuk diubah dan disempurnakan dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan perjanjian internasional tentang HAM yang sudah diratifikasi oleh Indonesia.

“Antara lain mendesaknya perluasan definisi dan atau pengaturan tentang diskriminasi yang lebih komprehensif, lebih luas jangkauannya guna menjamin kesejahteraan bagi kelompok rentan yang mencakup anak, perempuan, lansia, penyandang disabilitas, pengaturan dan atau jaminan HAM terhadap kehidupan kaum transgender dan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat, termasuk keyakinan dan atau kepercayaan asli masyarakat adat,” tutur Liona.

Dikatakan Liona, seringkali Masyarakat Hukum Adat tidak mendapatkan pengakuan yang datang justru dari Pemerintah Daerah sementara masyarakat mengakuinya.

Baca Juga: Angkat Kinerja Semester II, ZINC Genjot Produksi Galena Berkadar Tinggi

Menurut dia, Pemerintah Pusat harus bertanggung jawab terhadap Pemerintah Daerah yang menolak memberikan pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat yang merupakan cikal bakal adanya bangsa Indonesia.

“Pengaturan tentang tindakan intoleransi dalam kehidupan sehari-hari, juga harus menjadi prioritas untuk diatur mengingat meningkatnya tindakan intoleransi sangat berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa serta terganggunya penghormatan hak asasi manusia,” ujar Liona yang juga anggota Pakar DPP Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (DPP ISKA).

Halaman:

Editor: Ruth Tobing


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x