Penulisan Sejarah Indonesia: Dari Orde Baru ke Era Fadli Zon, Sejarah Untuk Siapa?

Seputar Cibubur - 3 Jul 2025, 20:29 WIB
Penulis: Erlan Kallo
Editor: Tim Seputar Cibubur
Presiden Soekarno (tengah) didampingi Wapres Mohammad Hatta (kanan) membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan RI di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta, 17 Agustus 1945. ANTARA FOTO/IPPHOS/Rei/Koz/pras.
Presiden Soekarno (tengah) didampingi Wapres Mohammad Hatta (kanan) membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan RI di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta, 17 Agustus 1945. ANTARA FOTO/IPPHOS/Rei/Koz/pras. /

SEPUTAR CIBUBUR - Penulisan sejarah Indonesia bukan sekadar dokumentasi masa lalu, melainkan arena perebutan makna dan legitimasi kekuasaan.

Dari era Presiden Soeharto hingga proyek penulisan ulang yang digagas Menteri Kebudayaan Fadli Zon, narasi sejarah Indonesia terus mengalami tarik-ulur antara objektivitas akademik dan kepentingan politik.

Pada masa Orde Baru, penulisan sejarah Indonesia dikendalikan secara ketat oleh negara. Tujuannya jelas: membentuk citra Soeharto sebagai penyelamat bangsa pasca-G30S dan menghapus pengaruh Sukarno.

Baca Juga: Analisis Berita: Proyek Sejarah Nasional Dianggap Bahaya! Fadli Zon Dituding Putihkan Pelanggaran HAM

Pada tahun 1970, diadakan Seminar Sejarah Nasional II di Yogyakarta menjadi titik awal pembentukan Panitia Penyusunan Buku Standar Sejarah Nasional (PBSN).

Tokoh sentral di balik itu adalah Nugroho Notosusanto, sejarawan militer dan Kepala Pusat Sejarah ABRI, menjadi arsitek utama narasi sejarah versi Orde Baru.

Kemudian antara tahun 1975–1976 Terbit buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) dalam enam jilid, yang menjadi standar pengajaran di sekolah dan perguruan tinggi.

SNI ini memiliki ciri khas narasi: Anti-komunis dan anti-Sukarno, menghapus pelanggaran HAM seperti pembunuhan massal pasca-G30S, dan Menonjolkan pembangunan dan stabilitas sebagai prestasi Soeharto.

Baca Juga: Rapat Kerja Komisi X Memanas! Pernyataan Fadli Zon Soal Tragedi 98 Tuai Reaksi Emosional

Halaman:

Tags

Terkini