SEPUTAR CIBUBUR - Penulisan sejarah Indonesia bukan sekadar dokumentasi masa lalu, melainkan arena perebutan makna dan legitimasi kekuasaan.
Dari era Presiden Soeharto hingga proyek penulisan ulang yang digagas Menteri Kebudayaan Fadli Zon, narasi sejarah Indonesia terus mengalami tarik-ulur antara objektivitas akademik dan kepentingan politik.
Pada masa Orde Baru, penulisan sejarah Indonesia dikendalikan secara ketat oleh negara. Tujuannya jelas: membentuk citra Soeharto sebagai penyelamat bangsa pasca-G30S dan menghapus pengaruh Sukarno.
Pada tahun 1970, diadakan Seminar Sejarah Nasional II di Yogyakarta menjadi titik awal pembentukan Panitia Penyusunan Buku Standar Sejarah Nasional (PBSN).
Tokoh sentral di balik itu adalah Nugroho Notosusanto, sejarawan militer dan Kepala Pusat Sejarah ABRI, menjadi arsitek utama narasi sejarah versi Orde Baru.
Kemudian antara tahun 1975–1976 Terbit buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) dalam enam jilid, yang menjadi standar pengajaran di sekolah dan perguruan tinggi.
SNI ini memiliki ciri khas narasi: Anti-komunis dan anti-Sukarno, menghapus pelanggaran HAM seperti pembunuhan massal pasca-G30S, dan Menonjolkan pembangunan dan stabilitas sebagai prestasi Soeharto.
Baca Juga: Rapat Kerja Komisi X Memanas! Pernyataan Fadli Zon Soal Tragedi 98 Tuai Reaksi Emosional