SEPUTAR CIBUBUR - Tahun 2024 ini merupakan peringatan 20 tahun terjadinya bencana tsunami terbesar di Samudera Hindia, tepatnya pada 26 Desember 2004.
Tsunami yang dipicu gempa sesar aktif di dasar laut Pantai Barat Sumatera, berkekuatan 9.1 Skala Richter, menerjang wilayah daratan Aceh dan dampaknya merambah hingga Thailand, Bangladesh, bahkan sampai Madagaskar di Afrika Timur. Diprakirakan, bencana tsunami tadi menelan korban lebih dari 230.000 jiwa.
Selama 20 tahun terakhir, telah banyak upaya dilaksanakan Pemerintah dan masyarakat untuk memitigasi dan mempersiapkan diri bila bencana sebesar tsunami 26 Desember 2004 terjadi lagi. Ibaratnya, tsunami Aceh merupakan awal kebangkitan Indonesia untuk bersiap tangguh bencana. Mulai saat itulah resiliensi bencana dimulai. Sejak itulah kita semakin sadar bahwa Indonesia adalah negara yang rentan bencana dan upaya pengelolaan risiko bencana perlu terus diupayakan agar pada tahun 2045 mendatang Indonesia benar-benar tangguh bencana. Sesudah 20 tahun pasca tsunami Aceh, sejauh mana progress Indonesia dalam resiliensi bencana secara berkelanjutan?
Baca Juga: Mahfud MD Sebut Pencabutan IUP Tak Gampang Membalikan Telapak Tangam
Pada Diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) Rabu 17 Januari 2024, Deputi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Dr Raditya Jati menyampaikan bahwa sudah ada kemajuan menuju Indonesia resiliensi bencana, namun masih banyak lagi pekerjaan rumah yang harus dikerjakan.
Dalam diskusi yang dipandu Dr Idwan Soehardi Ketua Komite Kebencanaan CTIS, yang juga mantan Deputi Menteri Ristek itu, Raditya menyampaikan bahwa rentetan bencana yang terjadi sesudah tsunami Aceh, seperti gempa Yogyakarta, Mei 2006, gempa di Lombok NTB dan di Palu, Sulwesi Tengah, yang terjadi hampir bersamaan pada 2018, lalu tsunami di Pandeglang di akhir tahun 2018, serta gempa di Cianjur pada 11 Juni 2023 lalu, tampak bahwa resiliensi menghadapi bencana di tanah air masih perlu lebih ditingkatkan lagi.
Apalagi bila disadari bahwa dampak perubahan iklim dan kemampuan resiliensi terhadap bencana dapat mengganggu target-target Sustainable Development Goals (SDGs) 2030.
Itulah sebabnya, saat Indonesia menjadi tuan rumah Sidang PBB Pengurangan Risiko Bencana, United Nations 7th Global Platform for Disaster Risk Reduction di Bali, Mei 2022 lalu, Presiden Jokowi menawarkan empat konsep menuju resiliensi yang berkelanjutan, yaitu 1) Budaya dan Kelembagaan Siaga Bencana, 2) Investasi dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi termasuk mobilisasi pendanaannya, 3) Membangun infrastruktur yang tangguh bencana dan 4) Menggalang kerja sama Regional dan Global.