SEPUTAR CIBUBUR – Pemikiran pembaruan Islam Indonesia Prof Dr Nurcholish Madjid atau Cak Nur (1939-2005) masih relevan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mengulas ide-ide progresif Cak Nur dan persoalan kebangsaan dan keumatan, Universitas Paramadina dan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati, Bandung menggelar Diskusi “Mengenal Pemikiran Cak Nur dan Paramadina” di Universitas Paramadina, Rabu (21/6/2023).
Diskusi menghadirkan Dr M Subhi-Ibrahim, Ketua Program Magister Studi Islam Universitas Paramadina.
Dia mengatakan bahwa keindonesiaan ditandai oleh kemajemukan. Beda suku, agama, bahasa dan lain-lain. Karena itu, untuk menjadi Indonesia, seseorang wajib mengafirmasi, menerima kemajemukan, keberagaman itu. Agama harus menjadi perekat perbedaan yang ada di masyarakat. Agama tidak boleh menjadi pemecah belah anak bangsa.
“Bagi Cak Nur, Keislaman, Keindonesiaan dan Kemodernan adalah satu tarikan nafas. Seorang Muslim harus mampu menjadi orang Indonesia yang baik dan modern. Tidak boleh ada pembenturan Keislaman dan Keindonesiaan,” papar Dr M Subhi-Ibrahim.
Sikap toleran, moderat, inklusif, menurut Cak Nur, harus dipelihara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang majemuk.
Baca Juga: Harry TY Achsan, Doktor Baru Ilmu Komputer Universitas Paramadina
Subhi-Ibrahim menambahkan, Umat Islam mesti berperan aktif, bersama-sama dengan umat beragama lain, membangun peradaban. Peradaban ditopang oleh pilar agama, filsafat, ekonomi dan sains. Berkaca pada Muslim klasik, mereka mampu menciptakan peradaban tinggi karena memiliki kepercayaan diri dan sikap inklusif. Kepercayaan diri tersebut lahir dari penghayatan keagamaan. Mereka meyakini bahwa, yang absolut hanya Tuhan. Manusia relatif.
“Karena itu, tidak perlu ada rasa rendah diri atau rasa takut. Karena, pada dasarnya, manusia adalah egaliter, sama di hadapan Tuhan. Sikap inklusif atau terbuka dibutuhkan agar bisa menyerap apa yang baik dari peradaban yang ada sehingga bisa mewarisi peradaban tersebut,” tandasnya.
Lebih lanjut, Subhi-Ibrahim mengatakan, Cak Nur telah memberi teladan sebagai intelektual-aktivis yang memikir nasib umat dan bangsa. Cak Nur pun menawarkan cara pandang keagamaan yang mencerahkan. Mendobrak pintu kejumudan berfikir seraya mengajukan pikiran-pikiran alternatif yang terkadang memicu kontroversi. Misalnya, ungkapan Cak Nur ”Islam Yes, Partai Islam No.” Ungkapan ini memiliki konteks agar umat Islam tidak mensakralkan simbol-simbol Islam, di satu sisi. Di sisi lain, Cak Nur memimpikan umat Islam mampu masuk ke berbagai kekuatan politik tanpa perlu pakai label Islam.