Indonesia Kekurangan Sekitar 30 Ribu Dokter Spesialis, Yang Ada Numpuk di Jawa

- 10 April 2023, 09:25 WIB
Ilustrasi Dokter Spesialis Paru.
Ilustrasi Dokter Spesialis Paru. /Pixabay/Yerson Retamal

SEPUTAR CIBUBUR - Disparitas pemenuhan dokter spesialis masih terjadi di seluruh Indonesia.

 

Akibatnya, dengan perhitungan target rasio 0,28: 1.000 maka saat ini Indonesia masih kekurangan sekitar 30 ribu dokter spesialis.

Hal ini ditegaskan oleh Dirjen Tenaga Kesehatan Kemenkes RI, Arianti Anaya pada Webinar Urgensi Pendidikan Terintegrasi untuk Pemerataan Pelayanan Kesehatan yang diselenggarakan PKMK-FKKMK UGM, Sabtu, 8 April 2023.

Baca Juga: PERINGATAN Bagi Orang Sering Tunda Waktu Tidur Risiko Terkena Hipertensi atau Darah Tinggi

“Kita membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun untuk memenuhi jumlah dokter spesialis tersebut dengan asumsi jumlah penyelenggara prodi dokter spesialis sebanyak 21 dari 92 fakultas kedokteran dengan menghasilkan lulusan spesialis sekitar 2.700 tiap tahun,” papar Arianti seperti dikutip dari laman UGM.

Selain kekurangan jumlah dokter spesialis, kata Arianti, saat ini persebarannya pun belum merata karena 59 persen masih berada di Pulau Jawa.

Sementara wilayah Indonesia bagian timur jumlah dokter spesialis masih terbatas.

Prof Herkutanto dari Fakultas Kedokteran UI menilai sulitnya seleksi dan proses Program Pendidikan Dokter Spesialis juga menjadi hambatan bagi dokter yang ingin meneruskan pendidikannya.

“Negara harus bisa melihat pentingnya dokter spesialis saat ini bagi masyarakat. Sama halnya dengan produksi tenaga militer, perlu ada penanganan berbeda dibandingkan pendidikan lain karena ini terkait langsung dengan keselamatan masyarakat dan bangsa,” tutur Herkutanto.

Dr Setyo Widi Nugroho, Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI), mengatakan untuk bisa mendorong produksi tenaga medis bukan perkara mudah karena bagaimanapun terdapat proses panjang untuk menghasilkan tenaga medis yang berkualitas.

Adanya peningkatan produksi, tentu tidak mengesampingkan aspek kredibilitas.

“Kami terinspirasi dari Health Education of England (HEE), bahwa untuk melakukan suatu produksi, kita harus meyakinkan bahwa jumlah tenaga kerja harus tepat jumlahnya, tepat keterampilannya, dan memberikan pelayanan yang baik, serta mampu beradaptasi dengan teknologi,” ungkap Setyo Widi.

Berdasarkan masalah tersebut maka dalam pandangan, Prof Ratna Sitompul, representasi Pokjanas Academic Health System (AHS), maka Undang-Undang Omnibus Law perlu dipertimbangkan kembali dampaknya terkait penyelesaian problematika yang ada.

Oleh karena itu, dalam policy brief yang dirancang, terdapat Academic Health System yang berperan penting mendorong produksi tenaga kesehatan.

“Kami berharap, fakultas kedokteran yang terjalin dalam AHS dapat membantu fakultas kedokteran lain yang belum memiliki spesialisasi tertentu karena berbagai keterbatasan. Dengan begitu, kami harap produksi tenaga kerja, khususnya dokter spesialis ini dapat meningkat,” tutur Prof. Ratna.

Editor: sugiharto basith budiman

Sumber: ugm.ac.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x