Kaghati Kolope, Layang-layang Tertua di Dunia dari Indonesia Berumur Empat Ribu Tahun

- 23 Februari 2024, 07:00 WIB
Ilustrasi orang bermain layang-layang.
Ilustrasi orang bermain layang-layang. /Cocoparisienne/Pixabay

SEPUTARCIBUBUR- Kaghati Kolope merupakan sebutan masyarakat Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara untuk layang-layang.

Kata “kaghati” sendiri berarti layang-layang dan “kolope” adalah daun umbi gadung.

Ternyata Indonesia memiliki layang-layang tertua di dunia. Layang-layang Kaghati Kolope sudah ada sejak 4000 tahun yang lalu.

Baca Juga: BMKG Sebut Angin Kencang di Bandung-Sumedang Bukan Tornado: Jangan Gunakan Istilah yang Bikin Heboh

Klaim ini berasal dari penemuan lukisan purba di Gua Sugi Patani pada tahun 1997 oleh peneliti Wolfgang Bick.

Wolfgang Bick sendiri merupakan seorang pecinta layang-layang yang berasal dari Jerman.

Dalam penelitiannya Wolfgang Bick menemukan tulisan tangan manusia yang menggambarkan layang-layang dalam Gua Sugi Patani, di desa Liangkobori.

Baca Juga: Pernah Begal Partai Demokrat, Moeldoko Tak Hadir di Pelantikan AHY

Dalam gua tersebut, tergambar seseorang sedang bermain layang-layang di dinding batu dengan menggunakan tinta berwarna merah dari oker (campuran tanah liat dan getah pohon).

Penemuan lukisan di Gua Sugi Patani dikatakan Wolfgang Bick telah mematahkan klaim yang menyatakan bahwa layangan pertama berasal dari Cina pada 2400 tahun yang lalu.

Layangan yang ditemukan di Cina menggunakan kain parasut dan batang aluminium, sementara layangan dari Pulau Muna terbuat dari bahan alam dan telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya.

Kaghati Kolope terbuat dari daun kolope yang dikeringkan, lalu dijahit menjadi lembaran besar dengan lidi bambu.

Tali untuk menerbangkannya juga unik, yaitu dengan pintalan serat nanas hutan. Kerennya layangan ini elastis dan tahan air loh! Gak heran dia bisa terbang seminggu penuh.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa latar belakang munculnya layang-layang Kaghati Kolope merupakan manifestasi suku bangsa Muna terdahulu yang menyembah api.

Mereka meyakini bahwa sumber api adalah matahari. Oleh karena itu cara mereka mencapai Tuhan adalah dengan menerbangkan layang-layang Kaghati selama tujuh hari.

Tepat pada hari ke tujuh, tali layang-layang tersebut diputus agar bisa terbang menuju langit tempat Tuhan mereka (matahari) berada.

Layang-layang yang lepas tersebut dipercaya akan memberi perlindungan kepada masyarakat suku bangsa Muna dari siksa api neraka setelah mereka meninggal.

Dalam perkembangannya setelah agama Islam masuk ke Muna, ritual tersebut sudah tidak dilaksanakan lagi.

Saat ini layang-layang biasanya menjadi sarana hiburan bagi masyarakat yang dinaikkan sejak sore sampai pagi hari selama tujuh hari tujuh malam.

Apabila layangan tersebut tidak lagi dapat diturunkan, maka dibuatlah suatu upacara untuk memutuskan tali layangan tersebut.

Pada layangan tersebut digantungkan sesajen berupa ketupat dan makanan lainnya.

Niat yang terkandung dalam upacara tersebut adalah bahwa seluruh halangan dan rintangan yang tidak baik atau kesialan, terbawa bersama layang-layang yang telah diputuskan.

Selain itu, ada pula masyarakat yang memanfaatkannya untuk menjaga sawah atau ladang dari serangan burung dan babi hutan.***

 

Sumber: kemenparekraf.ri & kemdikbud.go.id

Editor: Ruth Tobing


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x