Dibawah Judi dan Narkoba, Dana Kejahatan Lingkungan Global Capai Rp1.540 Triliun

- 6 Februari 2023, 11:29 WIB
Dibawah Judi dan Narkoba, Dana Kejahatan Lingkungan Global Capai Rp1.540 Triliun
Dibawah Judi dan Narkoba, Dana Kejahatan Lingkungan Global Capai Rp1.540 Triliun /Pixabay/S K

 

SEPUTAR CIBUBUR- Kejahatan lingkungan (Green Financial Crimes) merupakan  bisnis kriminal paling menguntungkan ketiga di dunia setelah perjudian dan narkoba.

Disinyalir kerugian global akibat kejahatan lingkungan mencapai Rp1.540 triliun. 

Hanya saja, hingga kini baik di  sejumlah negara, termasuk Indonesia hukumannya hanya seperti kejahatan kecil, bahkan nyaris tak tersentuh hukum.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), akhir pekan lalu  mengungkapkan adanya aliran dana tak lazim senilai Rp1 triliun ke kantong para oknum anggota partai politik (parpol).

Baca Juga: Faisal Basri : Dua Harga Jadi Penyebab Minyakita Langka

Dana tersebut diduga berasal dari kegiatan kejahatan lingkungan yang alokasinya untuk persiapan pemilu 2024.

Menurut Plt Deputi Analisis dan Pemeriksaan PPATK Danang Tri Hartono, jumlah dana hasil kejahatan lingkungan meningkat pada tahun 2022 dibandingkan tahun sebelumnya.

PPATK mensinyalir aliran dana Rp1 triliun yang diduga mengalir ke partai politik di Indonesia.

Kejahatan lingkungan merupakan aktivitas keuangan yang terkait dengan kejahatan lingkungan hidup seperti pembalakan hutan, penggundulan hutan, pertambangan ilegal, penangkapan ikan secara ilegal.

Baca Juga: Pemerintah Indonesia Mempersiapkan Kick Off Meeting World Water Forum ke-10 Pada 15-16 Februari 2023

Danang menuturkan, berdasarkan data milik Financial Action Task Force (FATF), aliran dana yang diperoleh dari GFC ini menjadi bukti dari telah berlangsungnya politik uang jelang Pemilu 2024 mendatang.

Menanggapi hal itu,Kepala Kampanye Iklim Greenpeace Tata Mustasya menilai angka Rp1 triliun tersebut barulah sebagian kecil yang terungkap.

Pasalnya, kata Tata Mustasya kegiatan tersebut sudah menjadi lingkaran setan dan merupakan praktik dalam demokrasi di Indonesia.

"Angka Rp 1 triliun itu angka yang kecil dan kemungkinan dari kejahatan kelas 'menengah'. Yang besar-besar justru belum tersentuh," tegasnya seperti dilansir Republika.co.id.

Baca Juga: Hormati Hak Pekerja, Sime Darby Plantation Boleh Jual Minyak Sawit ke AS

Tata mengatakan, para pengambil kebijakan melakukan korupsi politik dengan menyalahgunakan kewenangan untuk memberikan izin usaha sektor ekstraktif seperti pertambangan batu bara dan membiarkan kerusakan lingkungan yang terjadi.

Elite politik yang mengambil kebijakan menyatukan bisnis di sektor ekstraktif yang merusak lingkungan dan politik (konflik kepentingan).

"Uang tersebut dari misalnya pertambangan batu bara tersebut digunakan untuk pembiayaan politik, baik pemilu, pilpres maupun pilkada. Akhirnya perusakan lingkungan oleh industri ekstraltif dibiarkan dan demokrasi pun dirusak. Krisis iklim terjadi bersamaan dengan krisis demokrasi," ujarnya.

 Baca Juga: Langkah Mencari Penjual Minyakita Via Online, Ikuti Cara Ini

Pernyataan senada disampaikan Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Zenzi Suhadi.

Zenzi Suhadi menduga jumlah transaksi hasil kejahatan lingkungan yang mengalir ke anggota partai politik bisa jauh lebih besar daripada yang ditemukan oleh PPATK.

Menurut Zenzi, ada transaksi-transaksi yang tidak dilakukan lewat perbankan dengan nilai yang jauh lebih besar.

"Saya berkeyakinan angka transaksinya itu sebenarnya akan jauh lebih besar dari Rp1 triliun itu. Yang Rp 1 triliun itu yang sudah terjadi dan terdeteksi transaksinya melalui perbankan.

Tapi, transaksi-transaksi langsung yang tidak melalui perbankan, menurut saya, akan jauh lebih besar dari itu," ujar Zenzi.

Hanya saja, sayangnya kini belum ada data yang valid mengenai negara yang paling dirugikan dengan kegiatan bisnis kriminal yang merusak lingkungan***

 

Editor: Ruth Tobing


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x