Tambahan 250 Ribu Kematian Per Tahun Akibat Perubahan Iklim Didepan Mata

- 22 Januari 2024, 06:37 WIB
ilustrasi cuaca ekstrem
ilustrasi cuaca ekstrem /Instagram @infobmkgjuanda/

SEPUTAR CIBUBUR-Perubahan iklim rupanya bukan hanya permasalahan untuk generasi mendatang, melainkan sudah terjadi hari ini.

Tahun 2023 ditetapkan menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat (WMO).

Laju kenaikan rata-rata permukaan air laut global dalam sepuluh tahun terakhir (2013–2022) lebih dari dua kali lipat laju kenaikan permukaan laut pada dekade pertama pencatatan satelit (1993–2002).

Baca Juga: 350 Ribu Warga Kongo Terdampak Banjir Ekstrem

Analisis WHO dengan mempertimbangkan beberapa indikator kesehatan, memprediksi akan ada tambahan 250.000 kematian per tahun dalam beberapa dekade mendatang akibat perubahan iklim.

Pulau-pulau kecil dan masyarakat yang tinggal di dalamnya merupakan yang paling rentan terdampak krisis iklim.

Menurut Siaran Pers Forest Watch Indonesia (FWI) Minggu 21 Januari 2024, Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia.

Baca Juga: Debat Cawapres: Pengamat Yakini Dapat Perkuat Elektabilitas Paslon, Ini yang Harus Dilakukan Cawapres

Memiliki lebih dari 17.000 pulau dan sekitar 98% berupa pulau-pulau kecil. Pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia masih menggunakan pendekatan kegiatan ekstraktif sumber daya alam.

“Dari total luas pulau-pulau kecil Indonesia, ada sekitar 874 ribu hektare atau 13% dari total luas daratan pulau-pulau kecil yang telah dibebani izin industri ekstraktif SDA seperti penebangan hutan sekitar 310 ribu hektare ,tambang sekitar 245 ribu hektare, , hutan tanaman sekitar 94 ribu hektare, perkebunan sekitar 194 ribu hektare dan tumpang tindih sekitar 30 ribu hektare,” tulis FWI.

Aktivitas industri ekstraktif di pulau kecil terbukti telah memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat yang tinggal.

Baca Juga: Warga Kalibata City Rayakan Puncak Perayaan Natal 2023 dan Tahun Baru 2024 Dalam Bingkai Toleransi Beragama

FWI mencatat, antara tahun 2017-2021 nilai rata-rata laju deforestasi di pulau-pulau kecil mencapai 79 ribu hektare pertahun, atau setara 3 persen dari nilai laju deforestasi nasional.

Hadirnya industri ekstraktif di pulau-pulau kecil ditengarai oleh kebijakan-kebijakan yang mendukungnya serta lemahnya perlindungan terhadap ekosistem yang khas seperti pulau kecil.

Studi FWI mengemukakan beberapa permasalahan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia, antara lain belum jelasnya definisi operasional pulau-pulau kecil, pengelolaan pulau kecil masih bersifat sektoral (antar kementerian dan lembaga), serta kurangnya data dan informasi mengenai pulau-pulau kecil.

Indonesia merupakan negara kepulauan sehingga hutannya berada di pulau-pulau. Hutannya tersebar di pulau besar dan pulau kecil.

Paradigma pengelolaan hutan di Indonesia saat ini menunjukkan seakan akan hutan di Indonesia itu berada di satu hamparan daratan yang luas.

Hal ini tercermin mulai dari kebijakan kawasan hutan sampai dengan penataan ruang.

Dalam praktiknya tidak terlalu mempertimbangkan kondisi geografis negara kepulauan.

Salah satu contoh kasus adalah Pemerintah selalu mengklaim bahwa hutan hujan Indonesia salah satu yang terluas di dunia. Secara hitungan total klaim tersebut ada benarnya, tetapi faktanya hutan-hutan itu hanya berada di beberapa pulau saja. Disatu sisi kita selalu bilang hutan kita masih sangat luas, tetapi di sisi lain ada pulau-pulau atau daerah-daerah yang sudah sangat krisis akibat dari hilangnya hutan.

Maka tidak heran jika Jawa, Kalimantan, dan Sumatera selalu diterjang bencana ekologi.

Kasus yang lain adalah mengenai deforestasi, pemerintah selalu mengklaim penurunan deforestasi. Tetapi klaim itu menjadi tidak relevan jika rupanya sebagian besar deforestasi tersebut hanya terjadi di beberapa daerah saja.***

Editor: Ruth Tobing


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah