Chindo Jadi Lebih Indonesia Usai Bertemu Peranakan Tionghoa dari Negara Lain

- 10 Maret 2024, 00:28 WIB
Para panitia gelar budaya di Sakyaputra Mandira berfoto bersama. Pendiri Ikon Budaya Nusantara Rm Justinus Sulistiadi Pr (duduk kedua dari kiri) dan  Kepala Wihara Ekayana Arama, YM Aryamaitri Mahasthavira (berjubah).
Para panitia gelar budaya di Sakyaputra Mandira berfoto bersama. Pendiri Ikon Budaya Nusantara Rm Justinus Sulistiadi Pr (duduk kedua dari kiri) dan Kepala Wihara Ekayana Arama, YM Aryamaitri Mahasthavira (berjubah). /

SEPUTAR CIBUBUR -  Seorang youtuber dan Gen Z Influencer Selly Gouw mengungkapkan bahwa peranakan Tionghoa Indonesia atau keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia menjadi lebih Indonesia ketika bertemu dengan peranakan Tionghoa yang berasal dari negara lain. Bahkan istilah Chindo mulai diterima sebagai sikap nasionalisme.

Selly Gouw mengatakan hal itu dalam bincang budaya dengan thema “Budaya Peranakan Tiongjoa Abad ke-21, Mengulas Sejarah, Merintis Masa Depan“ di  Sakyaputra Mandira, Jakarta, Sabtu, 9 Maret 2024. Acara ini juga menghadirkan Sinolog Universitas Indonesia Eddy P Witanto, dan Grace Khoesoema sebagai moderator.

Bincang budaya ini dilaksanakan oleh Ikon Kebudayaan Nusantara (IKN). Hadir dalam acara tersebut termasuk di dalamnya, komunitas peranakan Tionghoa, Kepala Wihara Ekayana Arama, YM Aryamaitri Mahasthavira, pendiri Ikon Budaya Nusantara Rm Justinus Sulistiadi Pr, para pembina Yayasan IKN Hoedrato Lukiman, Sulistio, Bambang Britono, dan juga Ketua Yayasan IKN Laurensius Chandra.

Istilah 'chindo' menjadi viral diperbincangkan di media sosial usai Grand Final Master Chef Indonesia Season 11, November 2023.  Chindo menjadi topik panas di X hingga TikTok setelah Belinda Christina, seorang Chindo menjuari kejuaraan lomba masak tersebut.

Baca Juga: Asal-Usul Telur Asin Brebes, Bermula dari Tradisi Tionghoa

Chindo - Chinese Indonesian adalah sebutan peranakan Tionghoa yang lahir di Indonesia namun tinggal atau sekolah di Amerika. Mereka bangga dengan istilah Chindo karena nasionalisme sebagai bangsa Indonesia melekat pada istilah tersebut.  Chindo sebenarnya untuk membedakan peranakan Tionghoa atau peranakan China yang berasal atau lahir di negara lain selain Indonesia, tetapi juga tinggal di Amerika.

(Ki-ka) Grace Khoesoema (moderator), Sinolog UI Eddy P Witanto, dan Gen Z influencer Selly Gouw dalam diskusi Budaya Peranakan Tionghoa yang diadakan Yayasan Ikon Kebudayaan Nusantara, di Sakyaputra Mandira, Jakarta, Sabtu (9/3/2024).
(Ki-ka) Grace Khoesoema (moderator), Sinolog UI Eddy P Witanto, dan Gen Z influencer Selly Gouw dalam diskusi Budaya Peranakan Tionghoa yang diadakan Yayasan Ikon Kebudayaan Nusantara, di Sakyaputra Mandira, Jakarta, Sabtu (9/3/2024).
Menurut Eddy Witanto, budaya Peranakan Tionghoa, sebagai bagian integral dari warisan budaya Indonesia. Warisan tersebut memegang peran penting dalam membentuk identitas Indonesia. Keberadaannya tercermin jelas mulai dari aspek bahasa, arsitektur, kain tradisional, kuliner, ekonomi, hingga menjadi bagian dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Namun, minimnya informasi mengenai budaya peranakan Tionghoa saat ini dapat memicu ketidakpahaman serta miskonsepsi mengenai esensi dan peranannya dalam keragaman budaya Indonesia.

“Budaya peranakan Tionghoa merupakan produk budaya hasil akulturasi budaya Tionghoa dengan budaya lokal Indonesia, misalnya batik pesisir pantai utara Jawa seperti di daerah Lasem, Cirebon, dan Pekalongan atau di bidang kuliner, seperti wedang ronde, bakso, dan sebagainya,” kata Sinolog dari Universitas Indonesia itu.

Ia menambahkan, akulturasi budaya peranakan Tionghoa yang terbentuk di suatu tempat di Indonesia sangat dipengaruhi derajat akulturasi budaya antara budaya peranakan Tionghoa dan budaya lokal setempat, misalnya orang-orang Tionghoa yang sudah sangat lama menetap di pantai utara Jawa tentu akan menghasilkan corak budaya peranakan Tionghoa yang berbeda dari warga Tionghoa di Kalimantan Barat atau Sumatera yang baru terbentuk mulai abad ke-18an.

Di luar konteks budaya, warga Tionghoa telah aktif di berbagai sektor di Indonesia, bukan hanya sektor perdagangan semata, namun sayangnya hal ini yang jarang terekspos oleh publik. Eddy mencontohkan, Dokter Oen Boen Ing yang pada tahun 1976 menerima Satya Lencana Kebaktian Sosial dari pemerintah Indonesia atas jasa dan pengabdiannya yang tanpa pamrih kepada masyarakat.

Halaman:

Editor: Ruth Tobing

Sumber: Siaran Pers


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x