CTIS Tekankan Kedaulatan dan Kemandirian untuk Teknologi Penginderaan Jauh (Remote Sensing) di Indonesia

- 12 November 2023, 09:32 WIB
Ketua MAPIN, Dr.Agustan, (Depan No.2 dari Kiri) Pada Acara Diskusi di Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu, 8 November 2023.
Ketua MAPIN, Dr.Agustan, (Depan No.2 dari Kiri) Pada Acara Diskusi di Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu, 8 November 2023. /CTIS/

SEPUTAR CIBUBUR - Di Indonesia perkembangan teknologi remote sensing sangat pesat. Sejak Indonesia meluncurkan Roket Kartika-1, tahun 1961, kemudian dibentuknya Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) tahun 1963, serta berdirinya Badan Pengkajiaan dan Penerapan Teknologi (BPPT) tahun 1978, teknologi remote sensing terus berkembang di tanah air.  Kemampuan membuat satelit remote sensing secara mandiri juga sudah dikuasai Indonesia. 

Tinggal sekarang mengarahkan jenis teknologi ini ke jasa industri penginderaan jauh (inderaja) agar dapat mendukung pembangunan dan mendorong pertumbuhan ekonomi di tanah air. 

Itulah butir butir kesimpulan Diskusi Kedaulatan dan Kemandirian Teknologi Penginderaan Jauh di Indonesia, yang digelar Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu 8 November 2023.  Diskusi dimoderatori Dr. Idwan Soehardi, Ketua Komite Kebencanaan CTIS,  yang juga Mantan Deputi Menteri Ristek.

Baca Juga: Menko Luhut Tetap Gaspol Kerja Meski Dalam Masa Pemulihan, Bahasa Pengurangan Emisi Karbon Bareng John Kerry

Dalam Paparan Ketua Masyarakat Ahli Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN), Dr. Agustan, yang juga alumnus Nagoya University, Jepang, ia memperlihatkan penguasaan teknologi penginderaan jauh para ahli Indonesia, baik pada wahana pelatarannya seperti satelit, pesawat udara dan drone, juga ragam sensor yang dijejalkan pada pelataran pelataran tadi, baik sensor gelombang tampak, sensor gelombang infrared red, sensor gelombang thermal infrared hingga sensor gelombang radar.

Seorang ahli Indonesia bahkan sudah berhasil membuat sensor inderaja radar yang dikenal sebagai sensor Circular-Polarized Synthetic Aperture Radar (CP-SAR) dan diangkut dengan wahana drone. 

Ini terbilang rumit karena CP-SAR merupakan sensor gelombang aktif yang harus beroperasi dengan membawa energi sendiri.  Berarti wahana pesawat drone yang dipakai juga harus menggotong perangkat pembangkit energinya sendiri.  Beberapa stasiun bumi penerima data satelit inderaja juga telah dibangun di Jakarta, Bitung, Pare Pare, Bali dan Biak.

Kemampuan ahli-ahli Indonesia untuk membangun satelit inderaja secara mandiri ditampilkan dengan peluncuran satelit LAPAN-TUBSAT, tahun 2007, Satelit LAPAN-A2/ORARI (2015), Satelit LAPAN A3/IPB (2016) dan direncanakan pada tahun 2024 akan dioperasikan satelit Nusantara Earth Observation Satellite (NEOS) buatan Indonesia, yang peluncurannya akan menggunakan wahana roket milik Indian Space Research Organization. 

Dari kajian bibliometrik, Agustan memperlihatkan bahwa sejak 1963 hingga sekarang,  terdapat sekitar 7.000-an artikel ilmiah  tenang teknologi dan aplikasi penginderaan jauh di Indonesia. 

Halaman:

Editor: sugiharto basith budiman


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x