Pengadilan Tipikor Medan Sidangkan Kasus Dugaan Maling Uang Rakyat (Korupsi) Kredit BTN Medan Rp39 Miliar

- 14 Juni 2022, 18:43 WIB
Ilustrasi. PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk
Ilustrasi. PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk /BTN

SEPUTAR CIBUBUR - Kasus dugaan maling uang rakyat (korupsi) penyaluran kredit Bank Tabungan Negara (BTN) Cabang Medan senilai Rp39,5 miliar, Senin, 13 Juni 2022 disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan.

Sidang perdana korupsi di tubuh bank plat merah itu dipimpin oleh majelis hakim yang diketuai oleh Immanuel Tarigan. Terdakwa atas nama Elviera yang berprofesi notaris dihadirkan secara virtual.

Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Resky Pradhana Romli membeberkan bahwa Elviera selaku notaris telah bekerja sama dengan PT BTN Kantor Cabang Medan berdasarkan Surat Perjanjian Kerjasama Nomor : 00640/Mdn.I/LA/III/2011 tanggal 11 Maret 2011.

Baca Juga: BTN Diduga Lakukan Intimidasi Terhadap Wartawan

Kontrak kerja sama itu kemudian diperpanjang lagi berdasar Perjanjian Kerjasama Nomor : 20/PKS/MDN/II/2014 tanggal 25 Februari 2014.

Berdasar dakwaan jaksa, Elviera disebut memberi bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan yang tidak sesuai dengan keadaan dan kondisi sebenarnya kepada sejumlah pihak. Antara lain yakni Kepala Cabang BTN Medan Ferry Sonefille, lalu Pejabat Kredit Komersial Cabang BTN Medan R Dewo Pratoli Adji dan Analisa Kredit Komersial Aditya Nugroho.

"Perbuatan terdakwa bertentangan dengan Surat Edaran Direksi PT. BTN (Persero) Tbk Nomor :18/DIR/CMO/2011 tanggal 24 Mei 2011," ujar JPU.

Baca Juga: Sengkarut Pengosongan Rumah Nasabah BTN, Versi Satrio Arismunandar: Gagal Bayar Debt Collector Bertindak

JPU menjelaskan terdakwa EL membuat Akta Perjanjian Kredit No. 158 tanggal 27 Februari 2014 antara PT BTN Kantor Cabang Medan selaku kreditur dan PT. KAYA selaku debitur, yang mencantumkan 93 agunan berupa SHGB atas nama PT ACR.

"Di mana 79 SHGB di antaranya masih terikat hak tanggungan di Bank Sumut Cabang Tembung dan belum ada pelunasan; membuat surat keterangan / covernote Nomor : 74/EA/Not/DS/II/2014 tanggal 27 Februari 2014 yang menerangkan seolah-olah terdakwa sudah menerima seluruh persyaratan untuk balik nama 93 SHGB sehingga dapat dibaliknama dari PT ACR ke PT KAYA yang mengakibatkan pencairan kredit modal kerja konstruksi kredit yasa griya (KMK-KYG) dari PT. BTN Kantor Cabang Medan kepada PT. KAYA dapat dilakukan," terangnya.

Perbuatan terdakwa dinilai telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu memperkaya PT KAYA yang Direkturnya Canakya Siuman, sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp 39.500.000.000.

Baca Juga: Kuasa Hukum Satrio Arismunandar Sebut BTN Bergaya Preman dan Bocorkan Rahasia Nasabah

Jaksa mendakwa terdakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Subsidair, Pasal 3 jo Pasal 18 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Sebelum persidangan ditutup majelis hakim, Penasehat Hukum (PH) terdakwa, Tommy Sinulingga, didampingi Andi Tarigan memohon kepada majelis hakim agar dapat menghadirkan terdakwa secara langsung ke persidangan pada sidang selanjutnya.

"Kami di sini hanya memohon saja majelis hakim," ucap Tommy sembari menyerahkan permohonan tersebut secara tertulis.

Baca Juga: Nikahi Pecandu Judi Online Asal Indonesia, Bule Tajir Asal Inggris Kehilangan Rp67 Miliar

Menanggapi itu, Hakim Ketua Immanuel bertanya kepada jaksa apakah bisa menghadirkan terdakwa ke persidangan. Lalu jaksa menyebut akan berkordinasi terlebih dahulu kepada pimpinannya.

Hakim Immanuel juga bertanya kepada jaksa ada berapa tersangka dalam kasus ini. Lalu jaksa menyebut dari pihak BTN ada 4 orang ditambah Direktur PT KAYA Canakya Siuman. Selanjutnya sidang ditunda dan kembali digelar pada Jumat (17/6/2022), dengan agenda nota keberatan/eksepsi atas surat dakwaan jaksa yang diajukan tim PH terdakwa.

Usai sidang, saat dikonfirmasi, Tommy Sinulingga didampingi Andi Tarigan selaku Penasehat Hukum (PH) terdakwa mengaku mengajukan eksepsi pada persidangan selanjutnya, karena banyak kejanggalan yang ditemukan dalam perkara itu.

Baca Juga: Pesona dan Profil Erina Gudono: Puteri Indonesia yang Dikabarkan Dekat dengan Anak Jokowi, Kaesang Pangarep

"Keberadaan notaris adanya di akhir penjanjian mereka. Karena sudah adanya persetujuan para pihak antara BTN dan Developer (PT KAYA) barulah masuk ke Notaris yang menuangkan perjanjian tersebut berdasarkan persetujuan para pihak tersebut," ucap Tommy.

Tommy menegaskan, suatu bank pasti menerapkan prinsip kehati-hatian. Artinya, ketika sudah ada persetujuan dari pihak bank dan developer, maka prinsip kehati-hatian tersebut dianggap telah memenuhi syarat.

"Notaris hanya membuat apa yang disetujukan oleh para pihak membuat perjanjian kerja. Terdakwa dalam hal ini membuat perjanjian kerja setelah sudah ada persetujuan dari para pihak. Bagaimana mungkin kami atau klien kami disangkakan melakukan tindak pidana korupsi, padahal SOP mereka yang salah," tegas Tommy.

Baca Juga: Jokowi Batalkan Rencana Kenaikan Tarif Masuk Candi Borobudur, Pengunjung Harus Pakai Sepatu Khusus

Selain itu, Tommy juga merasa janggal dengan sidang perdana tersebut. Seharusnya bukan terdakwa El yang lebih dulu disidangkan ke pengadilan. Karena status kliennya tersebut adalah notaris, pejabat yang diberi kewenangan oleh UU membuat akta setelah para pihak yang memintakan dirinya membuat akta, setuju dengan konsep perjanjian tersebut.

"Kami ini hanya sebagai pendukung saja, yakni sebagai notaris. Membuatkan perjanjian kerja. Mengapa klien kami yang disidangkan pertama, bukan pelaku utamanya, artinya Developer atau pihak banknya terlebih dahulu. Inilah yang menjadi kejanggalan sehingga kami mengajukan eksepsi pada sidang selanjutnya," terangnya. ***

Editor: Erlan Kallo


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah