SEPUTAR CIBUBUR - Meski pandemi Covid-19 di Indonesia cenderung melandai dua bulan terakhir ini, namun Pemerintah Pusat masih menetapkan pandemi Covid-19 sebagai bencana manusia nonalam.
Dalam status seperti itu, pengeluaran pemerintah dapat dibatasi atau terbatas, berbeda jika menerapkan status lockdown yang artinya pemerintah harus menanggung seluruh biaya hidup rakyatnya.
Dengan status bencana manusia nonalam, maka sebagian penanggulangannya dibebankan kepada masyarakat. Salah satunya adalah tes atau pemeriksaan reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) untuk perjalanan udara.
Selain biayanya masih relatif mahal, kewajiban syarat tes PCR untuk perjalanan penerbangan pun menjadi kontroversi. Soalnya, tes PCR hanya diberlakukan untuk sektor penerbangan.
Baca Juga: Ini Aturan Terbaru: Wajib Tes PCR dan Kartu Vaksin jika Naik Pesawat, Bus atau Kapal Laut
Dalam konteks pelayanan tes PCR, dampak lanjutan dari ketidakmampuan pemerintah itu kemudian dibebankan kepada penyedia layanan kesehatan dan masyarakat.
”Kenapa dari awal pemerintah tidak menanggung biaya pokok screening yang sifatnya program, seperti screening untuk tenaga kesehatan? Untuk lokasi yang strategis? Untuk perjalanan-perjalanan yang diperbolehkan?” kata Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia, Mahesa Paramadipa dalam diskusi webinar bertajuk ”Ribut-ribut PCR”, Sabtu 30 Oktober 2021.
Mahesa menilai, akibat dari hal tersebut, masyarakat berkorban lebih banyak lagi dalam hal tes PCR.
Padahal, pemerintah seharusnya memperhitungkan modal PCR setelah menerima masukan dari beragam pihak yang ber kepentingan.