Tak Jaga Fatsoen Politik, Indonesia jadi Malin Kundang terhadap Civil Society

- 11 Desember 2023, 20:40 WIB
Prof Dr Komaruddin Hidayat, Pemikir Islam & Kebangsaan. Sumber: Paramadina
Prof Dr Komaruddin Hidayat, Pemikir Islam & Kebangsaan. Sumber: Paramadina /

SEPUTAR CIBUBUR – Negara Indonesia adalah anak kandung masyarakat yang muncul dari keberagaman komunitas serta etnis yang merupakan modal perjuangan dan identitas kelompok. Pada mulanya, komunitas dan etnis yang beragam itu berharap fatsoen politik akan terus dijaga dan dirawat setelah Indonesia merdeka. Tapi lama kelamaan, Indonesia justru menjadi Malin Kundang terhadap ibu kandungnya, civil society. Saat berada pada posisi negara modern godaannya semakin power full dan perlahan impian berubah.

Demikian dikemukakan Pemikir Islam & Kebangsaan Prof Dr Komaruddin Hidayat, dalam Serial Diskusi Fatsoen Politik bertajuk “Menuju Politik yang Beretika & Beradab di Indonesia”  yang diselenggarakan The Lead Institute Universitas Paramadina secara daring, Selasa (5/12/2023).

“Kelelahan, kemarahan, pembusukan, dan kekecewaan masyarakat menjadi ujung Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Ini sudah menjadi siklus. Dulu (sejak periode pertama pemerintahan Jokowi-JK) state building dibangun dan berjalan dalam waktu 10 tahun, namun di ujung pemerintahan, pilar negara dan berbangsa justru defisit kepercayaan publik,” katanya.

Baca Juga: Paramadina-INDEF Gelar Diskusi Publik Pemikiran Amartya Sen

Dalam sambutannya, Prof Didik J Rachbini menilai bahwa demokrasi sudah menjadi brutal dan menjadi hukum rimba, terjadi arus balik perpecahan di antara pendukung capres Pilpres 2024 dan konflik satu sama lain, yang dulu sangat mendukung kekuasaan sekarang berbalik.

“Fenomena relawan dalam Pilpres merupakan bagian dari sistem institusi rule of law, namun selama 9 tahun relawan justru menjadi rayap demokrasi yang bernaung di bawah kekuasaan. Dia ada di bawah karpet yang dulu memuji-muji kekuasaan dan secara tidak langsung membungkam orang kritis, tapi sekarang menjadi oposisi. Rayap demokrasi adalah suatu bentuk penyimpangan yang membuat wajah pemimpin Indonesia seperti Putin (bercorak otoriter),” ujar Didik menjelaskan.

Dr M Subhi Ibrahim, Ketua Program Magister Studi Islam dalam Diskusi Fatsoen Politik “Menuju Politik yang Beretika & Beradab di Indonesia” oleh The Lead Institute Universitas Paramadina secara daring, Selasa (5/12/2023). Sumber: Paramadina
Dr M Subhi Ibrahim, Ketua Program Magister Studi Islam dalam Diskusi Fatsoen Politik “Menuju Politik yang Beretika & Beradab di Indonesia” oleh The Lead Institute Universitas Paramadina secara daring, Selasa (5/12/2023). Sumber: Paramadina
Adapun Dr M Subhi Ibrahim, Ketua Program Magister Studi Islam memaparkan bahwa Negara, adalah sebuah entitas yang bisa juga bubar, ketika kesepakatan yang dibuat oleh rakyat tidak lagi memberikan mandat kepada negara.

“Pada akhirnya politik negara akan banyak menentukan bagaimana wajah negara ke depan. Semua juga tidak terlepas dari permainan politik. Ketika masuk pada permainan politik, ada sistem, aturan dan aktor. Problemnya adalah bagaimana bisa memberikan kartu merah bagi mereka yang melanggar aturan,” katanya.

Baca Juga: Gandeng Paramadina, KPK FGD Kembangkan Modul Strategi Kampanye Integritas

“Jadi dalam konteks nalar politik seperti di atas, maka penguasa yang ingin 3 periode mungkin adalah politikus yang punya pembenarannya sendiri. Namun ada pertanyaan, apakah kekuasaan itu tanpa batas? Di situlah kemudian arti pentingnya sebuah Demokrasi,” ucap dia menegaskan.

Halaman:

Editor: Ruth Tobing

Sumber: Siaran Pers


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x