Bansos Dinilai untuk Tujuan Politik, Ini Penjelasannya

- 8 Februari 2024, 13:03 WIB
Diskusi Universitas Paramadina bekerjasama dengan LP3ES bertajuk “Bansos, Pengentasan Kemiskinan atau Tujuan Politik?”, yang diselenggarakan secara daring pada Rabu (7/2/2024). Sumber: Universitas Paramadina
Diskusi Universitas Paramadina bekerjasama dengan LP3ES bertajuk “Bansos, Pengentasan Kemiskinan atau Tujuan Politik?”, yang diselenggarakan secara daring pada Rabu (7/2/2024). Sumber: Universitas Paramadina /

SEPUTAR CIBUBUR -  Bantuan sosial  (bansos) saat ini dinilau sudah digunakan sebagai alat politik. Indikasinya adalah penggelontoran besar-besaran bansos sekira Rp 500 triliun, terbesar selama reformasi, tidak didukung oleh data kemiskinan yang sebetulnya sudah agak menurun meski tidak signifikan.

Demikian dikemukakan Guru Besar Universitas Paramadin Prof. Didin S Damanhuri dalam diskusi yang digelar Universitas Paramadina bekerjasama dengan LP3ES bertajuk “Bansos, Pengentasan Kemiskinan atau Tujuan Politik?”, yang diselenggarakan secara daring pada Rabu, 7 Februari 2024 dan dimoderatori oleh Swary Utami Dewi.

“Jadi, semestinya kalau bansos digelontorkan dengan amat besar itu pertanda indikasi kemiskinan kembali meningkat, nyatanya kemiskinan sudah agak menurun, dan itu pertanda bansos telah menjadi alat politik, terlebih dibagikan menjelang pemilu 2024,” katanya.

Indikasi lainnya bahwa bansos dibagikan oleh Jokowi sendiri bukan melalui Kementerian Sosial, bahkan Mensos tidak mendampingi Jokowi ketika bansos tersebut dibagikan.

Baca Juga: KPK Sarankan Bansos Uang Disalurkan Lewat Tranfer Bank

“Hal tersebut memperkuat bahwa terjadi proses politisasi bansos untuk kepentingan pemilu. Di banyak daerah pembagian bansos bahkan dilabeli dengan paslon 02 dengan pesan jika paslon 01 dan 03 menang maka bansos tidak lagi dibagikan,” lanjut dia.

“Dalam 5 tahun terakhir ada gejala Indonesia sedang dalam fase neo-otoritarianisme. Beberapa pihak sudah memastikan gejala-gejala itu dengan bukti-bukti yang sangat kuat,” tuturnya.

Didin menjelaskan bahwa pada era Soekarno memainkan isu Nasakom dengan perimbangan kekuasaan antara TNI-AD vs PKI,  kemudian Soekarno menciptakan suatu ekosistem hingga MPR ketika itu memutuskan sebagai presiden seumur hidup meski dengan dekrit Soekarno sendiri.

Pada era Soeharto menciptakan partai pelopor agar proses pembangunan ekonomi berlanjut dengan industrialisasi tanpa instabilitas politik dengan represi politik domestik. Sejak 2014 Presiden Jokowi tampil dengan program-program nyata dan populis dengan indikasinya parlemen yang pro kekuasaan semula 65% menjadi 85% pro kekuasaan.

Baca Juga: Jusuf Kalla Ingatkan Bagi Bansos Bukan di Jalanan

Halaman:

Editor: Ruth Tobing

Sumber: Siaran Pers


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x