Bansos Dinilai untuk Tujuan Politik, Ini Penjelasannya

- 8 Februari 2024, 13:03 WIB
Diskusi Universitas Paramadina bekerjasama dengan LP3ES bertajuk “Bansos, Pengentasan Kemiskinan atau Tujuan Politik?”, yang diselenggarakan secara daring pada Rabu (7/2/2024). Sumber: Universitas Paramadina
Diskusi Universitas Paramadina bekerjasama dengan LP3ES bertajuk “Bansos, Pengentasan Kemiskinan atau Tujuan Politik?”, yang diselenggarakan secara daring pada Rabu (7/2/2024). Sumber: Universitas Paramadina /

“Jika dibanding periode saat ini nilai bansos Rp 496 triliun, sedangkan periode lalu sebesar Rp 476 triliun. Yang menjadi masalah bukan sekadar mencapai atau bahkan tepat sasaran tetapi juga soal pemerataan antar kelompok,” lanjut Nina.     

Pada 2013 ke 2014 bansos yang digelontorkan sekitar Rp 398 T, di akhir era SBY sebesar Rp 439 T, jadi bisa dilihat dengan jelas bahwa ada lonjakan anggaran sekira Rp 40 T.  “Bahkan jika dilihat berdasarkan data, nilai bansos yang paling besar terjadi pada 2020 yaitu sebesar Rp 498 T (pandemi Covid-19). Kemudian terjadi penurunan kembali ke angka Rp 397 T pada 2021. kemudian naik lagi di 2022 sebesar Rp 431 dan Rp 476 di tahun 2023. Dari angka-angka itu memang ada pertanyaan besar, apakah ada kepentingan yang muncul yakni kepentingan politik?” imbuh Nina.

Wijayanto, Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES, menyampaikan bahwa bansos yang dibagikan saat pemilu merupakan suatu refleksi kegagalan negara untuk memenuhi amanah konstitusi. “Tak hanya itu, bansos yang diberikan adalah refleksi kegagalan birokrasi negara untuk menjalankan bantuan sosial, sehingga terjadinya kegagalan birokrasi dan administratif di dalamnya,” kata Wija.

Ia mengingatkan bahwa dari tahun ke tahun sejak tahun 2019, buku outlook yang diterbitkan oleh LP3ES memberikan kesimpulan bahwa pemerintah secara konsisten melanggar aturan main demokrasi.

Baca Juga: Muhaimin Sebut Bansos Uang Rakyat Bukan Bantuan Jokowi

“Salah satunya adalah saat pemilu saat ini, aturan main bisa berupa konstitusi dan undang-undang. Dimana pada saat ini terjadi pelanggaran etika yang terjadi tetapi tetap dilanjutkan. Aturan main lainnya adalah bansos yang digelontorkan saat masa pemilu seperti ini, sehingga bansos tersebut terpasang stiker pasangan calon,” tutur Wija.

Bahkan lanjut Wija, dalam buku terbitan LP3ES dengan judul “Demokrasi Tanpa Demos” memiliki makna bahwa demokrasi mengabaikan suara warga, suara demos. Saat ini banyak sekali, hingga puluhan kampus saut-sautan untuk memprotes keadaan, menyuarakan perlawanan dan mengoreksi pelanggaran etika. Salah satunya adalah ketidaknetralan pemerintah dalam pemilu ini.

“Rezim presiden Jokowi terjadi selama 4 periode dimana pada 2014-2016 diistilahkan sebagai honeymoon, namun pada 2016-2019 terlihat neo developmentalisme dimana pembangunan yang mengabaikan kelestarian lingkungan dan lain sebagainya, pada 2019-2022 terjadi oligarki ugal-ugalan dan pada 2023 hingga saat ini terjadi politik dinasti, politisasi bansos dan pengingkaran konstitusi,” pungkasnya. (Lucius GK)

Halaman:

Editor: Ruth Tobing

Sumber: Siaran Pers


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah