SEPUTARCIBUBUR- Indonesia dibangun dari fondasi agama, budaya, dan suku yang berbeda-beda, namun tetap bersatu dalam damai.
Salah satu contohnya dapat dilihat di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) yang merupakan wilayah terluar Indonesia.
Di Kampung Tua Penagi, Kelurahan Batu Hitam, Kecamatan Bunguran Timur terdapat dua rumah ibadah yang berdiri berdampingan saling berdekatan.
Keduanya adalah Surau Al-Mukarramah milik umat Islam dan Kelenteng Pu Tek Chi milik umat Khonghucu. Saat ini surau sedang direnovasi oleh pemerintah setempat karena kondisinya mulai lapuk dimakan rayap.
Meski dibangun bersebelahan, tidak pernah terdengar salah satu umat agama saling mengeluhkan keberadaan rumah ibadah masing-masing.
Jarak antara kedua rumah ibadah itu sekitar dua meter dengan ukuran bangunan hampir sama dan hanya dipisahkan oleh jalan panggung beralaskan papan.
Baca Juga: Yuk Serbu, Mal Living World Cibubur Dibuka 15 Maret 2024
Maklum saja, karena sebagian besar permukiman warga di tempat ini didirikan di atas air laut dan berbentuk panggung ditopang tonggak-tonggak kayu nan kokoh sebagai penahan tubuh bangunan.
Jumlah populasi masyarakat Melayu dan Tionghoa berimbang dari total 100 kepala keluarga yang mendiami kampung tersebut.
Mereka tetap hidup berdampingan dengan damai dan saling menghargai sejak ratusan tahun lampau sewaktu daerah ini masih menjadi pusat perdagangan yang ramai di dekat Selat Karimata.
Sikap tenggang rasa itu dapat terwujud lantaran mereka menjalankan toleransi sebatas menyediakan ruang untuk masing-masing agama menjalankan ajaran dari keyakinannya sesuai tuntunan yang telah tertulis dalam kitab agama yang mereka yakini.
Tingginya toleransi di Kampung Tua Penagi membuat wilayah itu ditetapkan oleh Kementerian Agama sebagai Kampung Moderasi Beragama pada September 2023 lalu.
Kebhinekaan dan toleransi tersebut tak hanya dijumpai di Kampung Tua Penagi saja. Pemandangan serupa dapat dijumpai di Kelurahan Sedanau yang juga mendapat penghargaan sebagai Kampung Moderasi Beragama.
Sikap toleransi antarumat beragama di kedua daerah akan semakin kental terasa ketika ada perayaan hari keagamaan.
Misalnya sewaktu umat Khonghucu sedang bersiap merayakan Tahun Baru Imlek 2024, maka warga yang tidak memperingatinya akan bergotong royong membantu menyiapkan kebutuhan Imlek.
Seperti membantu menghias kelenteng dan vihara dengan lampion-lampion merah aneka ukuran. Lampion-lampion merah ini bahkan turut dipajang di jalan-jalan kampung meski sebagian warganya tidak ikut merayakan.
Tak cukup sampai di situ saja karena saat perayaan berlangsung dan menampilkan atraksi barongsai, uniknya adalah para pemainnya merupakan anak-anak muda Muslim dari sekitar kelenteng.
Begitu pula ketika umat Islam akan bersiap menggelar takbiran menyambut Hari Raya Idulfitri, maka umat beragama lain di kedua Kampung Moderasi Beragama itu juga tak kalah sibuk.
Sebagian akan sibuk membantu panitia salat Id untuk menyiapkan keperluan salat dan yang lainnya ikut membagikan makanan dan minuman kepada peserta takbiran keliling kampung.
Natuna telah memberikan contoh bagaimana Indonesia memang dibangun dari fondasi agama, budaya dan suku yang berbeda-beda, namun tetap bersatu dalam suasana damai.***
Sumber: Indonesia.go.id