Dua Puluh Tahun Pasca Tsunami Aceh 2004, Resiliensi Bencana Makin Kokoh

22 Januari 2024, 21:15 WIB
Deputi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Dr.Raditya Jati (no.5 dari kanan) pada Diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) Tentang Peringatan 20 Tahun Tsunami Aceh 2004 – 2024 /CTIS/

 

SEPUTAR CIBUBUR - Tahun 2024 ini merupakan peringatan 20 tahun terjadinya  bencana tsunami terbesar di Samudera Hindia, tepatnya pada 26 Desember 2004. 

Tsunami yang dipicu gempa  sesar aktif di dasar laut Pantai Barat Sumatera, berkekuatan 9.1 Skala Richter,  menerjang wilayah daratan Aceh dan dampaknya merambah hingga Thailand, Bangladesh, bahkan sampai Madagaskar di Afrika Timur. Diprakirakan, bencana tsunami tadi  menelan korban lebih dari  230.000 jiwa. 

 Selama 20 tahun terakhir, telah banyak upaya dilaksanakan Pemerintah dan masyarakat untuk memitigasi dan mempersiapkan diri bila bencana sebesar tsunami 26 Desember 2004 terjadi lagi.  Ibaratnya, tsunami Aceh  merupakan awal kebangkitan Indonesia untuk bersiap tangguh bencana.  Mulai saat itulah resiliensi bencana dimulai. Sejak itulah kita semakin sadar bahwa Indonesia adalah negara yang rentan bencana dan upaya pengelolaan risiko bencana perlu terus diupayakan agar pada tahun 2045 mendatang Indonesia benar-benar tangguh bencana.  Sesudah 20 tahun pasca tsunami Aceh, sejauh mana  progress Indonesia dalam resiliensi bencana secara berkelanjutan? 

Baca Juga: Mahfud MD Sebut Pencabutan IUP Tak Gampang Membalikan Telapak Tangam

Pada Diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS) Rabu 17 Januari 2024, Deputi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Dr Raditya Jati menyampaikan bahwa sudah ada kemajuan menuju Indonesia resiliensi bencana, namun masih banyak lagi pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. 

 Dalam diskusi yang dipandu Dr Idwan Soehardi Ketua Komite Kebencanaan CTIS, yang juga mantan Deputi Menteri Ristek itu, Raditya menyampaikan bahwa rentetan bencana yang terjadi sesudah tsunami Aceh, seperti gempa Yogyakarta, Mei 2006,  gempa di Lombok NTB dan di Palu, Sulwesi Tengah, yang terjadi hampir bersamaan pada 2018, lalu tsunami di Pandeglang di akhir tahun  2018, serta gempa di Cianjur pada 11 Juni 2023 lalu, tampak bahwa resiliensi menghadapi bencana di tanah air masih perlu lebih ditingkatkan lagi. 

Apalagi bila disadari bahwa dampak perubahan iklim dan kemampuan resiliensi terhadap bencana dapat mengganggu target-target Sustainable Development Goals (SDGs) 2030.

Itulah sebabnya, saat Indonesia menjadi tuan rumah Sidang PBB Pengurangan Risiko Bencana, United Nations 7th Global Platform for Disaster Risk Reduction di Bali, Mei 2022 lalu, Presiden Jokowi  menawarkan empat konsep menuju resiliensi yang berkelanjutan, yaitu 1) Budaya dan Kelembagaan Siaga Bencana, 2)  Investasi dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi termasuk mobilisasi pendanaannya, 3) Membangun infrastruktur yang tangguh bencana dan 4) Menggalang kerja sama Regional dan Global.

Mengingat Indonesia dipandang Dunia sebagai contoh salah satu negara paling depan yang bergiat dalam penguatan resiliensi bencana, Raditya menyampaikan, ini harus dilaksanakan dan diperagakan implementasi empat konsep di atas oleh Indonesia terlebih dahulu.  Sosialisasi resiliensi kebencanaan  harus lebih disebar-luaskan ke masyarakat. 

Tidak lupa pula institusi penanggulangan bencana di daerah, seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di Provinsi dan Kabupaten/Kota  harus terus diperkuat.   Investasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi baik untuk mitigasi, tanggap darurat maupun operasi pasca bencana yang telah dimiliki Indonesia perlu lebih disosialisasikan. 

Pasca tsunami Aceh, Indonesia sudah mampu membuat dan meluncurkan satelit remote sensing untuk pemantauan bencana, juga ada satelit komunikasi orbit ekuatorial buatan Indonesia yang bisa dipakai untuk komunikasi radio penduduk ORARI bila terjadi bencana. 

Ditambah lagi kemampuan membangun dan mengoperasikan Indonesia Tsunami Early Warning System (INA-TEWS) yang sudah dikuasai para ahli dalam negeri.  Kemudian ada beragam teknologi militer produksi dalam negeri yang bisa langsung dikonversikan menjadi teknologi penanggulangan bencana, seperti rancang-bangun dapur umum, seragam untuk operasi tanggap darurat bencana, makanan siap saji (meal ready to eat – MRE) dan masih banyak lagi.  Tidak lupa pula sistem asuransi kebencanaan yang perlu terus dikembangkan.

Berkaitan dengan peningkatkan budaya sadar bencana, Anggota CTIS Profesor Harijono Djojodihardjo memberi masukan tentang budaya resiliensi bencana masyarakat Jepang yang sangat siap menghadapi bencana. Dia menyatakan Indonesia perlu belajar dari mereka. 

Baca Juga: Mengenang Tsunami Aceh, Ini Lima Destinasi untuk Edukasi tentang Kesiagaan Bencana

Tentang investasi di bidang asuransi kebencanaan, anggota CTIS lainnya, Professor Jan Sopaheluwakan mengingatkan tentang prosentase pembayaran asuransi bencana yang ditanggung, yang masih rendah, terkadang hanya 5% dari total kerugian akibat bencana tadi.

Ketua Dewan Pembina CTIS, Profesor Wardiman Djojonegoro, yang juga mantan Mendikbud, menegaskan bahwa peringatan 20 tahun  tsunami Aceh dapat dipakai untuk memperkokoh empat kerangka resiliensi bencana diatas, dan CTIS akan mendukung penuh beragam kegiatan dalam rangka peringatan 20 tahun  bencana tsunami Aceh. ***

 

 

Editor: sugiharto basith budiman

Tags

Terkini

Terpopuler