Hidup Bersama Raksasa, Kisah Petani Sawit yang Termarjinalkan

26 November 2022, 07:51 WIB
Hidup Bersama Raksasa, Kisah Petani Sawit yang Termarjinalkan /Channel News Asia

SEPUTAR CIBUBUR-Profesor Tania Murray Li, antropolog dari Universitas Toronto di Kanada dan Profesor Pujo Semedi, antropolog dari Universitas Gadjah Madameluncurkan buku yang mengulas tentang kehadiran perusahaan perkebunan sawit.

Buku berjudul Hidup Bersama Raksasa: Manusia dan Pendudukan Perkebunan Sawit diluncurkan di Universitas Sumatera Utara, Medan, Jumat 25 November 2022.

Buku itu menarik, karena memberi persektif berbeda tentang kehadiran perusahaan perkebunan yang dinilai tidak memberikan kesejahteraan warga. Sebaliknya kehadiran banyak perkebunan besar milik konglomerat justru menimbulkan konflik dan perampasan hak asasi manusia.

Baca Juga: Duta Palma Group Sebut ada 309 Perusahaan Sawit Bermasalah di Indonesia

Yang menarik, buku ini ditulis melalui pendekatan etnografi juga disertai penelitian di perkebunan sawit di daerah Tanjung, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, dalam kurun waktu lima tahun. 2010-2015.

Tania berpendapat, perkebunan menghasilkan pendapatan yang besar bagi perusahaan, tetapi hampir seluruhnya dibawa ke luar negeri atau luar daerah.

“Selain itu, para pekerjanya juga sebagian besar berasal dari daerah lain,” kata Tania.

Baca Juga: Bos Judi Sumatera Utara Apin BK Disinyalir Terlibat Perdagangan Satwa Dilindungi

Akibatnya, uang yang dihasilkan dari sawit sangat sedikit yang berputar di daerah perkebunan.

Ini mengakibatkan banyak daerah sangat lambat pertumbuhan ekonominya meskipun perkebunan sawit sudah puluhan tahun beroperasi di daerah itu.

”Kondisi ini merupakan kontras dari pertanian masyarakat lokal yang semua uangnya berputar di desa yang memunculkan mesin ekonomi baru.

“Di perkebunan sawit yang sudah ada puluhan tahun pun, daerahnya tidak berkembang. Infrastruktur hanya dibangun untuk kepentingan perkebunan saja semata,” kata Tania.

Baca Juga: Rupiah Perkasa Dihadapan Dolar AS Pada Pembukaan Hari Ini

Sementara itu, Pujo menilai, perkebunan sawit sejak awal dibangun mendapat subsidi besar-besaran dari penguasa.

Buktinya, sejak tahun 1990-an, perusahaan sawit mendapat lahan dengan status hak guna usaha dari negara dengan harga yang sangat murah.

Akibatnya, perkebunan sawit berkembang pesat dan mengubah antropologi masyarakat Indonesia yang sebelumnya merupakan petani sawah atau petani hutan menjadi pekerja di perkebunan sawit besar atau menjadi petani sawit.

Lahan sawit pun terus berkembang hingga saat ini mencapai 22 juta hektar, sekitar 14 juta hektar merupakan lahan produktif dan sisanya lahan yang disiapkan untuk ekspansi sawit.

 Baca Juga: Hotel The Gunawarman Milik Robert Bonosusatya Diduga Tempat Kongkow Konsorsium 303

Luasan ini mencakup sepertiga dari lahan pertanian di seluruh Indonesia. Ini adalah raksasa yang hanya meninggalkan ruang hidup yang sangat sempit bagi masyarakat,” kata Pujo.

Pernyataan senada disampaikan Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU, Ahmad Taufan Damanik.

Ahmad Taufan Damanik, mengatakan, pendekatan etnografi dalam buku itu menunjukkan kerakusan perkebunan sawit.

Taufan, yang merupakan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia periode 2017-2022, menyebut, setelah Sumatera dan Kalimantan, ekspansi perkebunan sawit berlanjut ke Papua.

 Banyak konsesi yang diberikan hanya berdasarkan peta dan foto udara tanpa melihat siapa yang ada di tanah itu. Seolah tanah Papua adalah tanah kosong, padahal ada masyarakat dan hukum adat yang berlaku di sana.

Baca Juga: PBB Sebut Serangan Rusia ke Ukraina Jerumuskan Jutaan Orang dalam Kesulitan Ekstrim

 ”Konsesi ini diberikan kepada perusahaan secara besar-besaran dengan luas yang tidak masuk akal. Di Kabupaten Merauke, Papua Selatan, luas konsesi yang dikeluarkan pemerintah justru lebih luas daripada luas kabupaten itu sendiri,” kata Taufan.

Taufan mengatakan, perkebunan sawit telah menyebabkan kerusakan ekologis, perubahan tata hidup suku asli, dan merampas tanah ulayat masyarakat. Konflik antarmasyarakat pun terjadi karena ada perebutan keuntungan kecil antartokoh masyarakat.”Ini semua adalah aspek hak asasi manusia,” kata Taufan.

Taufan menyebut, Komnas HAM sudah beberapa kali mengusulkan pembentukan komite nasional untuk merevisi kebijakan perkebunan secara mendasar agar berpihak kepada masyarakat kecil. Namun, hal itu tidak pernah ditindaklanjuti pemerintah secara serius.***

Editor: Ruth Tobing

Tags

Terkini

Terpopuler