Ini Tiga Tantangan Utama Industri Sawit Indonesia

- 7 Februari 2024, 21:29 WIB
Sawit. Foto: gapki.id
Sawit. Foto: gapki.id /

SEPUTAR CIBUBUR – Ada tiga hal utama yang menjadi tantangan industri sawit Indonesia yang merupakan pengerak ekonomi Indonesia yakni produktivitas yang stagnan, tuntutan Fasilitas Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM) 20%, serta kebun sawit yang teridentifikasi masuk kawasan hutan.

Demikian dikemukakan Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Sekjen Gapki) Muhamad Hadi Sugeng Wahyudiono dalam Forum Diskusi bertajuk "Prospek Perkebunan Pasca UUCK" yang digelar Gapki Kalimantan Tengah, di Palangkaraya, Senin, 5 Februari 2024.

Selain itu, industri kelapa sawit Indonesia saat ini masih menghadapi  berbagai tantangan regulasi yang belum terselesaikan secara sistematis.

“Diperlukan langkah yang solutif serta kolaboratif dalam menghadapi isu ini,” ujar Hadi Sugeng, dalam keterangan tulis Gapki yang diterima di Jakarta, Rabu, 7 Februari 2024.

Kebutuhan minyak sawit dalam negeri, menurut Hadi, terus meningkat. Peningkatan volume ekspor juga penting dilakukan untuk menstabilitaskan harga TBS petani. Selain itu, peningkatan ekspor juga penting bagi devisa negara. Itu sebabnya, tandas Hadi, penting sekali mendorong terobosan kebijakan pemerintah dalam meningkatkan produktivitas melalui percepatan program peremajaan sawit rakyat (PSR).

Baca Juga: Ini Kinerja Industri Sawit Indonesia September 2023

Terkait dengan regulasi FPKM 20% dan perkebunan kelapa sawit yang teridentifikasi masuk kawasan hutan sehingga berpotensi muncul konflik sosial secara vertikal dan horizontal, juga sangat perlu disikapi. Menurut Hadi Sugeng, diperlukan kepastian hukum yang mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi di Indonesia masa mendatang. Maraknya penjarahan dan konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan merupakan dampak dari ketidakpastian hukum ini.

Kewajiban perusahaan membangun perkebunan rakyat seluas 20% dari luas tertanam tertuang dalam Permentan No. 26 Tahun 2007 dan tidak berlaku surut. Bagi perusahaan yang telah beroperasi sebelum tahun 2007 tidak diwajibkan. Hadi Sugeng mengungkapkan bahwa perusahaan-perusahaan anggota Gapki melaksanakan kewajiban plasma sesuai dengan regulasi tersebut.  

"Terkait UUCK Pasal 110b, perusahaan hanya diberi waktu satu kali daur dan harus dikembalikan menjadi fungsi hutan. Itu sangat memberatkan dan membutuhkan biaya besar,” ujar Hadi Sugeng.

Sekjen Gapki Muhamad Hadi Sugeng Wahyudiono. Sumber: dok. Gapki
Sekjen Gapki Muhamad Hadi Sugeng Wahyudiono. Sumber: dok. Gapki
Sementara, di satu sisi Industri kalapa sawit harus menjaga devisa negara dari nilai ekspor.

Halaman:

Editor: Ruth Tobing

Sumber: Siaran Pers


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x