Efektivitas Hanya 47 Persen Jadi Sebab Vaksin CureVac Asal Jerman Dinyatakan Tidak Lulus Uji Klinis WHO

- 19 Juni 2021, 15:13 WIB
 Ilustrasi vaksin Vaksin CureVac asal Jerman yang tak lolos uji klinis WHO
Ilustrasi vaksin Vaksin CureVac asal Jerman yang tak lolos uji klinis WHO /Pexels.com/ Nataliya Vaitkevich

SEPUTAR CIBUBUR – Hampir tak ada satu negara pun di dunia yang terbebas dari serangan virus Corona, bahkan belum selesai penangan virus lama, kini muncul varian baru yang disebut sebagai varian Covid-19 Delta, yang ditemukan pertama kali di India.

Sejatinya belum ada obat atau vaksin yang benar-benar 100 persen dapat mematikan virus Corona, sehingga daripada tidak berbuat apa-apa dalam melawan musuh terbesar umat manusia saat ini, maka vaksin lah yang menjadi tumpuan menahan laju penyebarannya.

Saat ini, vaksin berperan sangat penting dalam memerangi virus corona. Karena itu perusahaan-perusahaan farmasi internasional berlomba-lomba bereksperimen membuat vaksin.

Baca Juga: WHO Nyatakan Varian Covid-19 Delta sudah Mendunia dan Kecewa Uji Coba Vaksin Baru Gagal

Salah satunya adalah perusahaan bioteknologi asal Jerman, CureVac yang ikut mengembangkan vaksin Covid. Namun, dari hasil laporan uji klinis yang sudah dilakukan, vaksin CureVac dinyatakan tidak lolos untuk bisa digunakan.

Hal ini menuai kekecewaan Kepala ilmuwan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Soumya Swaminathan yang sangat berharap vaksin CureVac ini lolos uji klinis dari WHO untuk melawan varian baru virus Corona.

Lalu apa penyebab vaksin COVID-19 buatan Jerman Vaksin CureVac gagal memenuhi standar vaksin Corona yang ditetapkan WHO.

Baca Juga: Menghadapi Lonjakan Covid-19, Bank Dunia, AIIB dan KfW Jerman Beri Dukungan Dana Sebesar Rp16,8 Triliun

Menurut dr. Devia Irine Putri, vaksin CureVac dinyatakan tidak layak digunakan karena tidak menunjukkan tingkat kemanjuran yang sudah ditetapkan oleh WHO.

“Tidak lulus uji klinis karena vaksin CureVac ini efikasinya hanya 47 persen. Sedangkan, dari standar WHO minimal 50 persen untuk bisa dijadikan vaksin Covid-19,” ucap dr. Devia, seperti dikutip dari klikdokter.com, Sabtu, 19 Juni 2021.

Melansir Clinical Trials Arena, vaksin CureVac –disebut juga CVnCoV– dibuat dengan messenger ribonucleic acid (mRNA) non-kimia yang dimodifikasi.

Vaksin tersebut menggunakan spike protein dari virus corona yang diformulasikan dalam nanopartikel lipid.

Baca Juga: Bamus DPR-RI Sepakati Kehadiran Hanya 20 Persen Hingga 25 Persen, Menyusul Terjangkitnya Covid-19 di DPRdi

Uji klinis sementara membuahkan hasil yang mengecewakan. Analisis sementara didasari pada 134 kasus Covid-19 dalam penelitian. Studi melibatkan sekitar 40.000 sukarelawan di Eropa dan Amerika Latin.

Efektivitas vaksin CureVac hanya 47 persen. Oleh karena itu, vaksin ini dinyatakan memiliki efektivitas paling rendah, apalagi bila dibandingkan dengan vaksin mRNA lainnya seperti vaksin Pfizer dan Moderna.

Hasil sementara menunjukkan, vaksin CureVac efektif pada peserta yang lebih muda. Namun, vaksin ini tidak membuktikan kemanjuran pada mereka yang berusia di atas 60 tahun, yaitu kelompok usia yang paling berisiko terhadap Covid-19 yang parah.

Baca Juga: 20.311 Orang Dirawat karena Covid-19 di JakartaStandar Vaksin Corona yang Ditetapkan WHO

Melansir laman resmi WHO Africa, tidak ada satu standar mengenai ambang batas efikasi yang bisa diterapkan pada semua jenis vaksin.

Setiap keputusan untuk menggunakan vaksin atau obat selalu melibatkan pertimbangan antara manfaat dan risiko.

Untuk vaksin Covid-19, efikasi yang ditetapkan adalah 50 persen. Karena, Covid-19 dianggap penyakit yang sangat parah.

Dari data yang tersedia, vaksin Covid-19 dengan tingkat kemanjuran 50 persen menunjukkan vaksin tersebut aman, setidaknya terhadap beberapa varian baru virus corona.

Baca Juga: Pemkot Solok Gelar Penjajakan Kerjasama Beras Solok dengan PT Food Station Tjipinang Jaya

Kemanjuran vaksin dapat mengukur perlindungannya terhadap penyakit atau patogen dalam uji coba vaksin.

Jika vaksin memiliki efektivitas 50-70 persen, maka itu berarti seseorang yang divaksinasi lebih kecil kemungkinannya untuk mengembangkan penyakit ketimbang yang tidak mendapatkan vaksin.

Menurut dr. Devia, selain harus mencapai batas efektivitas 50 persen, semua vaksin harus melalui 3 fase uji klinis terlebih dahulu sebelum diedarkan. Begitu juga dengan vaksin corona.

“Uji klinis 3 artinya melibatkan lebih banyak orang. Kemudian, dibandingkan dengan orang yang tidak divaksin bagaimana, dilihat keamanan dan efek samping yang bisa muncul, dilihat efektif atau tidak,” jelas dr. Devia. ***

 

Editor: Erlan Kallo

Sumber: klikdokter.com


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah