Wow! Indonesia Punya 300 Ribu Jenis Satwa Liar, Potensial untuk Memacu Perekonomian,

- 14 Oktober 2022, 10:25 WIB
Peluncuran buku “Sustainable Enviromental Management: Lesson from Indonesia” karya Profesor Jatna Supriatna usai Widjojo Nitisastro Memorial Lecture (WMNL) 2022,  yang merupakan bagian dari rangkaian peringatan Hari Jadi Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) yang ke-32
Peluncuran buku “Sustainable Enviromental Management: Lesson from Indonesia” karya Profesor Jatna Supriatna usai Widjojo Nitisastro Memorial Lecture (WMNL) 2022, yang merupakan bagian dari rangkaian peringatan Hari Jadi Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) yang ke-32 /AIPI/

Setiap wisatawan harus membayar tarif sekitar 60-100 dolar AS per hari kunjungan dengan biaya paket wisata bisa mencapai 2.500 dolar AS per kunjungan dengan amenitas, tranportasi dan pemondokan.

“Keanekaragaman hayati seharusnya jangan dilihat sebagai penghalang tapi sebagai opportunitas,” kata Jatna.

Jatna membandingkan di negara lain, melihat primata endemik lebih mahal lagi. Di Rwanda, tarif melihat gorila mencapai 120 dolar AS sementara di Malaysia tarif melihat orangutan  juga di atas 100 dolar AS.

“Indonesia juga harus bisa memanfaatkan karena kita punya (spesies) primata paling banyak nomor 3 di dunia selain kita mempunyai 3 spesies orangutan,” kata Jatna yang namanya diabadikan pada salah satu primata yaitu Tarsius supriatnai yang berada di provinsi Gorontalo.

Menurut Jatna dengan memanfaatan potensi keanekaragaman hayati berarti perekonomian akan bergerak dan dana yang dibutuhkan untuk melestarikan hutan dan konservasi keanekaragaman hayati akan tersedia lebih banyak.

Jatna mengajak para ahli biologi di Indonesia untuk juga bersinergi dengan ahli ilmu ekonomi sehingga bisa mencari pemanfaatan keanekaragaman hayati untuk perekonomian demi kelestarian.

Dia memperingatkan, jika kelestarian keanekaragaman hayati tergangggu maka kestabilan dan keseimbangan ekosistem akan goyah yang bisa berdampak buruk pada manusia. Jatna memberi contoh pada peningkatan konsumsi kalong di Sulawesi.

Jika dulu sumber pasokan kalong hanya di Sulawesi Utara, kini kalong harus dicari hingga ke seluruh dataran Sulawesi.

“Padahal kalong adalah inang yang baik untuk penyakit zoonosis, termasuk Covid,” kata Jatna.

Ketua AIPI Profesor  Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan, pandemi Covid ikut memicu tumbuhnya kesadaran akan pentingnya keutuhan lingkungan.

Halaman:

Editor: sugiharto basith budiman


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah