Tanah Papua Bakal Diekploitasi Secara Ekonomi dan besar besaran

8 Maret 2024, 19:40 WIB
Sumber foto : instagram.com/iroel_iman, Tanah Papua yang asri /

SEPUTAR CIBUBUR-Mahruz, peneliti Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mensinyalir, eksploitasi kekayaan alam di Papua telah disiapkan melalui Undang-Undang Cipta Kerja (UU CK).

“Kalau kita cek naskah akademik UU Cipta Kerja, kita akan menemukan penggunaan rezim hukum dalam mendesain UU Cipta Kerja itu nyata,” kata Mahruz saat merilis Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2023 di Jakarta pada Rabu, 6 Maret 2024.

Catahu ini bertajuk Tetap Berlawan pada Rezim Hukum Pembangunan Ekstraksi di Tanah Papua tersebut berisi dokumentasi pembelajaran dari kerja aksi iklim hingga advokasi hak masyarakat adat dan lingkungan hidup di Tanah Papua sepanjang 2023.

Baca Juga: Garuda Indonesia UOB Credit Card Tingkatkan Pengalaman Perjalanan dan Rewards bagi Nasabah

Mahruz berpendapat, di seluruh dunia, rezim hukum dipakai untuk melancarkan arus modal.

Di Indonesia rezim hukum dimulai dari 1960-an dan 1970-an sampai sekarang.

“Celakanya di Indonesia diresapi secara baik oleh rezim negara dan itu digunakan secara baik pula,” kata Mahruz.

Mahruz mencontohkan pada pemberlakuan Otonomi Khusus di Papua. Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) itu telah diatur sedemikian rupa sehingga dapat memperlancar kepentingan Pusat.

Baca Juga: Siap Siap, Tarif PPN Naik Jadi 12 Persen Tahun Depan

DOB ini dijalankan dengan kekuatan yang memaksa, “Ini membuat aparat negara, tokoh adat, atau lembaga adat bentukan negara membuat kuasa negara terus awet di Papua,” ungkap Mahruz.

Menurut Mahruz, Pusaka juga mencatat adanya legitimasi moral dan klaim.

Misalnya pemerintah pusat mengatakan mereka sudah sangat serius melakukan pembangunan, kesejahteraan, dan DOB dalam Otsus.

Selain itu ada kriminalisasi dan bekerjanya rezim hukum rasis.

"Jika diamati, pada 2019 di Papua dibuat rezim hukum untuk mengakui hak masyarakat adat, tapi di sisi lain ada rezim hukum yang dibuat juga untuk mempercepat eksploitasi atas tanah adat."

 Baca Juga: Airlangga, Bahlil Hingga Bamsoet Incar Ketum Golkar

Ia menilai negaranisasi di Tanah Papua merupakan arena kontestasi yang tidak netral, di mana pengakuan wilayah adat, hutan desa, hak pengelolaan, pengusulan hutan adat, pengusahaan perkebunan dan kehutanan, bisa ditemukan satu izin yang bisa melegalkan.

"Suatu perusahaan, lanjutnya, bisa melakukan banyak usaha di hutan. Bisa kayu, bisa jasa lingkungan, bisa karbon, bisa madu, dan lainnya," ucapnya.

“Ada kutipan dari jenderal Orde Baru Ali Murtopo, (bahwa) Jakarta tidak tertarik dengan orang Papua, (dan) yang membuat Jakarta tertarik adalah tanah dan sumber daya alamnya,” kata Mahruz. Apakah kutipan Ali Martopo itu masih relevan, “Kita bisa melihat hal itu dari beberapa perusahaan yang memiliki dan sedang mengurusi izin baru PBPH Multi Usaha Kehutanan di Papua,” kata Mahruz.

Mahruz memberikan contoh perusahaan yang mengurus izin baru Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) di Papua adalah Alamindo Bumi Hijau Group, terdiri dari empat anak perusahaan, di antaranya Indo Hutan Ekosistem Group dan Khatulistiwa Hijau Lestari Jaya Group. Total ada 14 anak perusahaan.

“Rezim hukum ini masih menggunakan watak yang rasis terhadap Papua dan itu tertuang dalam pasal-pasal, seperti Pasal 151 (3) PP 23/2021 dan Pasal 97 Permen LHK dengan batasan luasan 100.000 hektare untuk Papua. Kemudian Pasal 150 dengan jangka waktu penguasaan 90 tahun,” ungkap Mahruz.

"Juga resolusi konflik palsu kemitraan kehutanan dengan perusahaan PBPH, berupa kerja sama dengan membentuk koperasi masyarakat dalam Pasal 123 Permen LHK."***

Editor: Ruth Tobing

Tags

Terkini

Terpopuler