Punya Potensi Besar, Indonesia Perlu Kebijakan Keantariksaan dan Peta Jalan Industri Persatelitan

- 13 Juli 2023, 19:12 WIB
Pakar persatelitan Indonesia Ir Adi Adiwoso (No 4 dari Kanan) pada pertemuan Center for Technology and Innovation Studies (CTIS) di Jakarta, Rabu, 12 Juli 2023.
Pakar persatelitan Indonesia Ir Adi Adiwoso (No 4 dari Kanan) pada pertemuan Center for Technology and Innovation Studies (CTIS) di Jakarta, Rabu, 12 Juli 2023. /CTIS/

Adi Adiwoso menyampaikan bahwa setelah memetik pengalaman hampir 50 tahun, investasi swasta di bidang persatelitan di Indonesia sudah semakin layak. 

Satelit swasta pertama di Indonesia adalah Satelit Cakrawarta-1 yang meluncur tahun 1997. 

PSN sendiri mulai meluncurkan satelit komunikasi Garuda-1 pada tahun 2000. Saat ini PSN mengoperasikan Satelit Nusantara-1 sebagai satelit Broadband Pertama di Indonesia dan tengah bersiap meluncurkan Satelit Nusantara-5.

Di samping itu, ahli-ahli Indonesia juga sudah mulai membangun satelit satelit mini secara mandiri, yang dikenal sebagai Cubesat untuk ditempatkan di orbit rendah (Low Earth Orbit – LEO) ketinggian 500 kilometer. Contohnya LAPAN-IPBSat untuk pertanian dan konservasi lingkungan (2013), LAPAN-A3Sat untuk remote sensing dan cuaca, ITB-Sat buatan ITB-Bandung, dan UNIBRAW Sat buatan Universitas Brawijaya Malang. 

Kesemuanya ini dimungkinkan karena telah tersedianya teknologi 4.0,  termasuk teknologi Internet of  Things (IOT),  juga 3-D Printing yang memungkinkan rancang-bangun satelit dapat dilaksanakan secara cepat dan rinci. 

Ditambah lagi, teknologi peluncur roket yang sudah sangat tersedia dengan biaya yang semakin murah.  Sebagai perbandingan, saat ini tengah dibangun jaringan satelit Starlinks yang terdiri 4000 satelit internet yang melingkupi seluruh Bumi, sehingga fasilitas internet dapat dinikmati oleh seluruh penduduk Bumi.  Untuk itu, diluncurkan 60 satelit Starlinks per-minggu menggunakan roket Falcon-9 yang komponen-komponen roketnya dapat digunakan kembali (reusable), membuat operasi peluncuran roket cukup memakan biaya 10 juta dolar AS saja.

Adi Adiwoso juga menyampaikan bahwa satelit satelit komunikasi, seperti Satelit Satria-1, juga dilengkapi sensor cuaca sehingga bisa berfungsi sebagai satelit cuaca, mengingat operasi satelit komunikasi juga berkaitan dengan kondisi cuaca, liputan awan dan kelembaban wilayah yang dicakup satelit. 

Di samping itu, jaringan satelit komunikasi ini juga bisa dipakai sebagai satelit navigasi guna menentukan posisi lintang-bujur di permukaan Bumi. 

Khusus untuk teknologi remote sensing, nampaknya kemampuan mengolah data remote sensing menjadi informasi, yang dianalisis guna pengambilan kebijakan, lebih penting daripada membangun satelit remote sensingnya itu sendiri.  Oleh sebab itu, aplikasi data satelit remote sensing dengan beragam perangkat lunak yang dibangun secara spesifik perlu dikuasai oleh ahli-ahli Indonesia.

Baca Juga: Pantau Dampak Turki dan Suriah, PBB Aktifkan Layanan Satelit Pemetaan Darurat

Halaman:

Editor: sugiharto basith budiman


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah