Punya Potensi Besar, Indonesia Perlu Kebijakan Keantariksaan dan Peta Jalan Industri Persatelitan

- 13 Juli 2023, 19:12 WIB
Pakar persatelitan Indonesia Ir Adi Adiwoso (No 4 dari Kanan) pada pertemuan Center for Technology and Innovation Studies (CTIS) di Jakarta, Rabu, 12 Juli 2023.
Pakar persatelitan Indonesia Ir Adi Adiwoso (No 4 dari Kanan) pada pertemuan Center for Technology and Innovation Studies (CTIS) di Jakarta, Rabu, 12 Juli 2023. /CTIS/

SEPUTAR CIBUBUR - Indonesia telah menerapkan teknologi komunikasi satelit domestik sejak hampir setengah abad.  Dimulai saat Satelit Palapa A meruangangkasa pada tahun 1976 yang menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga di Dunia yang menerapkan Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) sesudah Amerika Serikat dan Kanada. 

Apalagi sebagai negara kepulauan terbesar di Dunia dengan panjang 5100 kilometer di katulistiwa,  Indonesia membutuhkan teknologi satelit, baik itu satelit komunikasi, satelit remote sensing maupun satelit navigasi. 

Di sisi lain, semakin canggihnya teknologi satelit, semakin efisien pengoperasiannya dan biaya yang semakin murah, saat ini pengembangan teknologi satelit sudah bukan hanya domain Pemerintah saja, namun peran industri satelit swasta juga sudah bermunculan di tanah air, baik untuk ruas antariksanya maupun untuk ruas Buminya.

 Namun, masih ditunggu adanya kebijakan Nasional tentang Keantariksaan dan Peta Jalan pengembangan Industri Satelit di tanah air agar potensi penerapan teknologi antariksa semakin optimal dengan investasi kemampuan sumber daya manusia yang semakin mumpuni. 

Baca Juga: Citra Satelit Ungkap Intensitas Illegal Fishing di Natuna Utara

Demikian ringkasan hasil pertemuan Center for Technology and Innovation Studies (CTIS) di Jakarta, Rabu, 12 Juli 2023.

Diskusi CTIS menampilkan Ir. Adi Adiwoso,  Direktur Utama PT. Pasifik Satelit Nusantara (PSN), yang juga salah seorang perintis pembangunan satelit Palapa A-1 lebih 48 tahun lalu bersama tokoh persatelitan Indonesia, Alm. Profesor Iskandar Alisyahbana. 

PSN baru saja berhasil meluncurkan Satelit Satria-1, pada 18 Juni 2023 dari Tanjung Canaveral, Florida AS, dan mulai akhir 2023 nanti akan melayani 50.000 titik jaringan internet diseluruh Indonesia. 

Investasi swasta yang dibenamkan untuk pembangunan Satelit Satria-1 mencapai Rp8,1 triliun, yang nantinya akan disewa oleh Pemerintah untuk melayani daerah daerah terluar, tertinggal, dan terdepan Indonesia. 

Adi Adiwoso menyampaikan bahwa setelah memetik pengalaman hampir 50 tahun, investasi swasta di bidang persatelitan di Indonesia sudah semakin layak. 

Satelit swasta pertama di Indonesia adalah Satelit Cakrawarta-1 yang meluncur tahun 1997. 

PSN sendiri mulai meluncurkan satelit komunikasi Garuda-1 pada tahun 2000. Saat ini PSN mengoperasikan Satelit Nusantara-1 sebagai satelit Broadband Pertama di Indonesia dan tengah bersiap meluncurkan Satelit Nusantara-5.

Di samping itu, ahli-ahli Indonesia juga sudah mulai membangun satelit satelit mini secara mandiri, yang dikenal sebagai Cubesat untuk ditempatkan di orbit rendah (Low Earth Orbit – LEO) ketinggian 500 kilometer. Contohnya LAPAN-IPBSat untuk pertanian dan konservasi lingkungan (2013), LAPAN-A3Sat untuk remote sensing dan cuaca, ITB-Sat buatan ITB-Bandung, dan UNIBRAW Sat buatan Universitas Brawijaya Malang. 

Kesemuanya ini dimungkinkan karena telah tersedianya teknologi 4.0,  termasuk teknologi Internet of  Things (IOT),  juga 3-D Printing yang memungkinkan rancang-bangun satelit dapat dilaksanakan secara cepat dan rinci. 

Ditambah lagi, teknologi peluncur roket yang sudah sangat tersedia dengan biaya yang semakin murah.  Sebagai perbandingan, saat ini tengah dibangun jaringan satelit Starlinks yang terdiri 4000 satelit internet yang melingkupi seluruh Bumi, sehingga fasilitas internet dapat dinikmati oleh seluruh penduduk Bumi.  Untuk itu, diluncurkan 60 satelit Starlinks per-minggu menggunakan roket Falcon-9 yang komponen-komponen roketnya dapat digunakan kembali (reusable), membuat operasi peluncuran roket cukup memakan biaya 10 juta dolar AS saja.

Adi Adiwoso juga menyampaikan bahwa satelit satelit komunikasi, seperti Satelit Satria-1, juga dilengkapi sensor cuaca sehingga bisa berfungsi sebagai satelit cuaca, mengingat operasi satelit komunikasi juga berkaitan dengan kondisi cuaca, liputan awan dan kelembaban wilayah yang dicakup satelit. 

Di samping itu, jaringan satelit komunikasi ini juga bisa dipakai sebagai satelit navigasi guna menentukan posisi lintang-bujur di permukaan Bumi. 

Khusus untuk teknologi remote sensing, nampaknya kemampuan mengolah data remote sensing menjadi informasi, yang dianalisis guna pengambilan kebijakan, lebih penting daripada membangun satelit remote sensingnya itu sendiri.  Oleh sebab itu, aplikasi data satelit remote sensing dengan beragam perangkat lunak yang dibangun secara spesifik perlu dikuasai oleh ahli-ahli Indonesia.

Baca Juga: Pantau Dampak Turki dan Suriah, PBB Aktifkan Layanan Satelit Pemetaan Darurat

Di tengah maraknya perkembangan teknologi satelit dan aplikasi teknologi antariksa di tanah air, ternyata Indonesia belum memiliki kebijakan antariksa Nasional dan juga belum ada Peta Jalan Pembangunan Teknologi Persatelitan di Tanah Air. 

Misalnya, untuk pembangunan Bandar Antariksa (Spaceport) yang memanfaatkan lokasi geografis ideal Indonesia di katulistiwa untuk peluncuran roket antariksa, ternyata belum diketahui kemana perijinan dan regulasi bisa diperoleh.  

Dewan Pengarah CTIS, Profesor Rahardi Ramelan, yang juga mantan Menteri Ristek/Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyarankan kiranya CTIS bisa mulai merintis pembuatan butir butir rancangan kebijakan keantariksaan dan peta jalan teknologi persatelitan untuk diusulkan kepada Pemerintah. 

Rahardi Ramelan juga menyodorkan UU No.21 tahun 2013 Tentang Keantariksaan sebagai dasar untuk penyusunan kebijakan keantariksaan Nasional. ***

Editor: sugiharto basith budiman


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah