Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor menilai bahwa aturan itu bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagaimana perlakuan PPN dan PPh atas transaksi kripto.
Perlakuan perpajakan mengacu kepada status aset kripto dalam kerangka hukum Indonesia.
Bank Indonesia menyatakan bahwa aset kripto bukanlah alat tukar yang sah, lalu Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) dan Kementerian Perdagangan menegaskan bahwa aset kripto merupakan komoditas.
Baca Juga: Sah! Rupiah Digital Segera Meluncur, Bank Indonesia: Kripto Dilarang Sebagai Alat Pembayaran
“Karena komoditas, maka merupakan barang kena pajak tidak berwujud dan harus dikenai PPN juga agar adil,” ujar Neilmaldrin pada Rabu 13 April 2022.
Hal tersebut menjadikan aset kripto sebagai jenis objek pajak yang baru, mendasari terbitnya PMK 68/2022.
Menurut Neil, pemerintah pun mengupayakan penerapan aturan yang mudah dan sederhana terhadap kripto.
Pemerintah juga menerapkan besaran PPN, yaitu PPN besaran tertentu atau PPN Final dengan tarif 0,11% dari nilai transaksi perdagangan aset kripto dalam hal penyelenggara perdagangan adalah Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK).
Nah, kalau penyelenggara perdagangan ini bukan oleh PFAK, maka tarif yang dikenakan sebesar 0,22% atau dua kali lipat.