Presiden Berkampanye, Bagaimana Mungkin Tidak Ada Conflict of Interest

- 30 Januari 2024, 10:30 WIB
Diskusi bertajuk Presiden Berkampanye? yang diselenggarakan Universitas Paramadina secara daring, Senin (29/1/2024). Sumber: Universitas Paramadina
Diskusi bertajuk Presiden Berkampanye? yang diselenggarakan Universitas Paramadina secara daring, Senin (29/1/2024). Sumber: Universitas Paramadina /

SEPUTAR CIBUBUR - Undang-undang pemilu memang tidak mengatur mengenai conflict of interest, tetapi bagaimana mungkin Jokowi dapat mengambil jarak yang proporsional, jika salah satu cawapresnya merupakan anaknya sendiri? Tentu ada ikatan kontak batin yang dirasakan.

Demikian disampaikan Ahmad Khoirul Umam, dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina dalam Diskusi bertajuk “Presiden Berkampanye?” yang diselenggarakan Universitas Paramadina secara daring, Senin (29/1/2024).

Umam mengungkapkan adanya ketidakmampuan dalam memilah ruang privat dengan ruang publik yaitu adanya kekuasaan negara menjadi tidak netral hingga berbagai lembaga menjadi alat kemenangan politik termasuk dalam skala yang lebih besar dalam terjadinya abuse of power. Bukan lagi ancaman mengenai legitimasi, kemudian bagaimana nama baik dan masa depan demokrasi.

Ia mengungkapkan munculnya sejumlah pertanyaan mengenai netralitas, memicu ketidakpercayaan publik sehingga bisa memunculkan chaos pasca pemilu.  “Apakah praktik politisasi ini dapat dihentikan? Karena sebenarnya perilaku kekuasaan yang ada serupa, karena atas backup-backup yang dilakukan di belakangnya,“ jelasnya.

Baca Juga: Penerimaan Rp2 Miliar, Dana Kampanye Rp180 Ribu, Kaesang : Maaf Salah Input

Dalam konteks politik praktis lanjut Umam, terlepas dari etik dan legal standar, nampaknya hal tersebut merupakan pengantar atau sebuah pemanasan yang disampaikan oleh Jokowi. “Karena per hari ini ada stagnasi elektabilitas mencapai 45%. Kalau misalnya situasi stagnasi adalah melakukan pukulan akhir yaitu bentuk pendeklarasian secara terbuka dari Jokowi sendiri,” ujarnya.  

Afiq Naufal, Ketua SEMA Paramadina dalam paparannya menyatakan bahwa seharusnya presiden tidak menggunakan kewenangannya untuk berpihak, keberpihakan presiden tidak hanya kepada pejabat politik tetapi sebagai penguasa.

“Kebebasan pendapat direpresi, padahal membicarakan mengenai keputusan MK, Bansos, dan lain sebagainya yang merupakan sebuah keberpihakan presiden. Yang menjadi permasalahan adalah bukan keberpihakan politik tetapi keberpihakan kekuasaan. Jika Raja sudah bergerak, berarti menjadi tanda-tanda pertarungan yang sangat berbahaya,” katanya.  

Baca Juga: TMII Larang Konser Musik Bermuatan Kampanye

Titi Anggraini, Dewan Pembina Perludem mengungkapkan bahwa kampanye hanya boleh dilaksanakan oleh pelaksana kampanye, diikuti oleh peserta kampanye. Ada regulasi teknis di dalamnya dengan ditembuskan kepada KPU, Bawaslu dan jajarannya.

Halaman:

Editor: Ruth Tobing

Sumber: Siaran Pers


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x