Setimen Melemah Akibat Resesi Global 2023, Pasar Real Estat Asia Masih Menyisahkan Optimisme

- 4 Desember 2022, 10:10 WIB
Ilustrasi sentimen pasar real estat di Asia melemah
Ilustrasi sentimen pasar real estat di Asia melemah /

SEPUTAR CIBUBUR - Baru-baru ini Emerging Trends in Real Estate® Asia Pacific merilis Laporan Edisi ke-17 yang diterbitkan Urban Land Institute (ULI) bersama PwC tentang prediksi real estat regional.

Dalam laporan tersebut menyoroti penurunan sentimen investor karena mengkhawatirkan kenaikan biaya utang, inflasi lebih tinggi, dan ancaman resesi global 2023 yang membayangi.

Disebutkan laporan ini berdasarkan survei terhadap 233 profesional real estat dan 101 wawancara dengan investor, pengembang, perwakilan perusahaan properti, dan perantara pemberi pinjaman.

Baca Juga: Siapkan Sabuk Pengaman, Berikut Beberapa Gaya Hidup Minimalis yang Bermanfaat Dalam Menghadapi Resesi Ekonomi

"Tren inflasi global, resesi ekonomi, dan penurunan indikator global terus berlanjut sehingga investor menunda pembelian sampai dampak penyelarasan kenaikan suku bunga global menjadi lebih jelas," jelas Emerging Trends in Real Estate® dalam keterangan tertulisnya yang diterima Seputarcibubur.com, Minggu, 4 Desember 2022.

Penurunan volume transaksi regional jelas terlihat, di mana jumlah transaksi kuartal ketiga di Asia Pasifik turun 38 persen tahun ke tahun menjadi US$32,6 miliar, sehingga mencatat volume kuartal ketiga terendah selama satu dekade di wilayah tersebut. Tiongkok Daratan mengalami penurunan terparah sebesar 23 persen tahun ke tahun.

Menurut David Faulkner, Presiden ULI Asia Pacific, kenaikan suku bunga dan ekonomi global yang melambat mulai menimbulkan dampak pada penilaian aset regional dan mengubah cara investor menilai potensi kesepakatan.

Baca Juga: Resesi Ekonomi? Berikut Pesan Presiden Jokowi Dalam Menghadapi Kondisi Perekonomian Global yang Tidak Pasti

"Sebagai lindung nilai inflasi jangka panjang, real estat akan terus menarik modal. Tapi industri ini mungkin juga akan mengalami perubahan signifikan di tahun-tahun mendatang karena lingkungan ekonomi yang berkembang dan perubahan cara orang menggunakan lingkungan binaan," kata Faulkner dalam rilis tersebut.

Ciri khas pasar-pasar teratas untuk prospek investasi di kawasan ini adalah pasar yang dalam dan likuid serta pendekatan penyelamatan aset. Singapura, Tokyo, dan Sydney masih berada di peringkat tiga pasar teratas.

Karena krisis likuiditas yang sedang berlangsung di sektor properti Tiongkok Daratan dan pembatasan pandemi belum usai, Singapura menikmati manfaat dari pengalihan modal yang bisa jadi sebaliknya akan ditempatkan dalam aset-aset di Tiongkok Daratan dan Wilayah Administratif Khusus Hong Kong.

Baca Juga: Resesi Ekonomi Global 2023 Hantui Bisnis Properti di Indonesia, Ini Solusi Cerdas Pengembang untuk Investor

Disebutkan, Tokyo masih menikmati suku bunga mendekati nol, sehingga menjamin biaya pinjaman lebih rendah dan spread lebih positif atas biaya utang. Meskipun pembatasan COVID di Wilayah Administratif Khusus Hong Kong sudah lebih longgar, statusnya sebagai pasar komersial dan pasar hunian termahal di Asia Pasifik membuatnya rentan di tengah lingkungan resesi inflasi tinggi saat ini.

Sementara Stuart Porter, Tax Leader Real Estat di Asia Pasifik mengungkapkan, kondisi pasar yang masih terfragmentasi telah membuat Singapura dan Tokyo mampu bertahan di posisi teratas sebagai kota yang prospek investasinya paling cemerlang, meskipun faktor-faktor yang menambah setiap kota memang sangat berbeda.

"Saat menjajaki peluang di kawasan ini, investor harus lebih berhati-hati ketika membeli aset baru di beberapa pasar Asia, dan jangan lagi berfokus pada kelas aset konvensional melainkan pada berbagai bidang spesifik yang prospeknya lebih cerah. Termasuk defensive havens dan tema-tema ekonomi baru, yang cenderung mengalihkan perhatian dari aset arus utama seperti sektor perkantoran dan sektor ritel, yang populer secara tradisional,” jelasnya.

Baca Juga: Resesi Ekonomi Global 2023 Jangan Dramatisir, tapi Perlu Diwaspadai

Investor mulai berganti strategi menuju properti defensif yang lebih tahan menghadapi tekanan ekonomi luar biasa, dan menuju aset yang dapat menawarkan fitur seperti indeksasi sewa, masa sewa lebih singkat, dan pendapatan berulang yang dapat diandalkan.

Sektor properti beberapa unit hunian (multifamily), sektor perhotelan, sektor hunian lansia, dan sektor logistik dianggap sebagai defensive havens.

Sub sektor ekonomi baru seperti pusat data, infrastruktur gudang dingin, fasilitas ilmu hayati, dan ruang penyimpanan swalayan kian menarik perhatian sebagai sarana investasi tahan resesi, karena berbagai faktor: meningkatnya penggunaan 5G, kekurangan persediaan struktur untuk memenuhi permintaan, dan evolusi rantai pasokan yang lebih canggih.

Baca Juga: 16 Besar Piala Dunia 2022 Qatar: Preview Prancis vs Polandia

"Dengan modal baru sebesar US$16 miliar terkumpul untuk strategi oportunis di seluruh sub sektor ini di Asia Pasifik – total lebih dari tiga kali lipat terkumpul selama tahun 2021 – mungkin logistik akan tetap diminati oleh investor saat memasuki tahun 2023," kata Porter.

Karena tekanan inflasi dan suku bunga kian memperbesar risiko pembangunan, proyek pembangunan jangka panjang harus ditunda. Investor juga menyesuaikan penjaminan mereka dengan menetapkan ketentuan tingkat kapitalisasi terminal lebih tinggi, mengurangi penggunaan utang, pembelian bahan-bahan di muka, dan menggunakan pendekatan "rekayasa nilai" - berusaha bertindak ekonomis dengan cara lebih ketat menganalisis parameter ikhtisar desain. ***

Sektor perkantoran tetap menjadi kelas aset terbesar di kawasan ini. Aset-aset utama di kawasan bisnis selalu habis dan terus-menerus menjadi incaran dana inti daerah yang berebutan menaruh modal. Di saat yang sama, besarnya kesenjangan harga antara pembeli dan penjual diperkirakan akan tetap terjadi selama beberapa waktu. ***

Editor: Erlan Kallo


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x