Harga TBS Petani Anjlok, Rupiah Tergerus, Ekonom Desak Segera Cabut Larangan Ekspor CPO

- 14 Mei 2022, 10:38 WIB
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira /@Celios

SEPUTAR CIBUBUR - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengingatkan, pemerintah harus secepatnya mencabut larangan ekspor CPO. Karena kebijakan tersebut lebih banyak membawa dampak negatif, alih-alih bisa menjadi strategi pengendali harga minyak goreng.

“Kelebihan pasokan minyak sawit yang selama ini terserap di pasar ekspor tidak mungkin bisa diserap di pasar domestik. Segera cabut larangan tersebut, bila perlu pekan ini,” kata Bhima di Jakarta, Jumat 13 Mei 2022.

Salah satu dampak nyata dari kebijakan larangan ekspor tersebut adalah penurunan harga TBS (tandan buah segar) petani kelapa sawit.

Baca Juga: Penghasilan Steven Richard Rp15 Miliar per Bulan, Doni Salmanan dan Indra Kenz Berapa?

Rendahnya penyerapan CPO akibat larangan ekspor membuat harga TBS tertekan. Bahkan, sejumlah pabrik kelapa sawit dalam waktu dekat akan sulit menerima TBS dari petani karena tanki-tanki penyimpanan CPO yang mulai penuh.

Dari pantauan di lapangan, penurunan harga TBS kelapa sawit terjadi di hampir seluruh wilayah pasca pelarangan ekspor CPO dan produk turunannya dua pekan lalu.

Di Sumatra Selatan, harga TBS petani turun sekitar Rp 500 per kilogram. Di Riau, penurunan harga TBS mencapai Rp 1.000 per kilogram menjadi sekitar Rp 2.900 per kilogram.

Penurunan harga TBS juga terjadi di wilayah sentra perkebunan kelapa sawit lainnya seperti Jambi, Kalimantan, dan Sulawesi.

Baca Juga: Masa Penahanan Dirjen Perdagangan Luar Negeri dan 3 Tersangka Dugaan Korupsi Migor lainnya Diperpanjang

“Kebijakan larangan ekspor ini tidak efektif menjamin stabilitas harga minyak goreng karena masalah minyak goreng sebetulnya adalah persoalan distribusi bukan bahan baku,” kata Bhima.

Selain membawa dampak negatif kepada petani kelapa sawit, kinerja makro ekonomi Indonesia juga terancam. Tahun 2021, sumbangan devisa ekspor minyak sawit mencapai USD 35 miliar atau lebih dari Rp 500 triliun dan sawit menjadi komditas penyumbang devisa ekspor terbesar.

Selain dari devisa ekspor, ekspor minyak sawit juga memberikan sumbangan bagi kas negara dalam bentuk pajak ekspor (bea keluar) dan pendapatan dari pungutan ekspor.

Penurunan pendapatan ekspor minyak sawit ini tentu berpotensi menekan surplus neraca perdagangan dan mengancam stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.

“Dengan harga CPO di pasar internasional yang sangat tinggi sementara di pasar domestik rendah akibat kelebihan pasokan, akan memicunya terjadinya penyelundupan. Ini akan membuat dinamika industri minyak sawit nasional semakin rumit dan runyam,” kata Bhima.

Baca Juga: Indrasari Wisnu, Sukses Bongkar Penipuan Investasi Bodong, Tergelincir di Kasus Migor

Cadev Turun

Bank Indonesia (BI) Jumat 13 Mei 2022 melaporkan posisi cadangan devisa per akhir Maret sebesar US$ 135,7 miliar, jeblok US$ 3,4 miliar dari bulan sebelumnya.

Posisi cadangan devisa tersebut merupakan yang terendah sejak November 2020 lalu.

"Penurunan posisi cadangan devisa pada April 2022 antara lain dipengaruhi oleh kebutuhan pembayaran utang luar negeri pemerintah dan antisipasi kebutuhan likuiditas valas sejalan dengan meningkatnya aktivitas perekonomian," tulis BI dalam keterangan resmi Jumat 13 Mei 2022.

"Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,9 bulan impor atau 6,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan" tambah keterangan tersebut.

Namun, nilai tukar rupiah sedang terpuruk kemudian pasar obligasi Indonesia kurang menarik membuat cadangan devisa berisiko turun lagi bulan ini. Sebab, BI perlu banyak melakukan intervensi guna menstabilkan nilai tukar rupiah.

Kelangkaan Minyak Nabati

Sementara itu Prof Petro Paganini, pakar komoditas dari John Cabot University Roma Italia, mengatakan di tengah kelangkaan minyak nabati global akibat perang Rusia dan Ukraina, dunia tidak punya pilihan lain kecuali mencari minyak sawit.

Bahkan di negara-negara Eropa, berbagai perusahaan makanan sudah mulai menggunakan minyak sawit sebagai bahan baku dan beberapa produk makanan di Eropa sudah menghapus label “palm oil free”.

“Tidak bisa dielakkan bahwa dunia membutuhkan minyak sawit. Apalagi jika dunia memiliki perhatian terhadap isu-isu keberlanjutan, pilihannya adalah dengan mengembangkan minyak sawit karena tanaman kelapa sawit jauh lebih produktif dibandingkan tanaman minyak nabati lainnya,” kata Pietro dalam diskusi dengan para pemangku kepentingan industri minyak sawit Indonesia di Jakarta, Rabu 11 Mei 2022.***

Editor: Ruth Tobing


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x