Menimbang Visi dan Misi Capres dan Evaluasi tentang Politik Luar Negeri

12 Januari 2024, 10:07 WIB
Diskusi via daring Universitas Paramadina bertema “Catatan Awal Tahun: Menimbang Visi dan Misi Capres dan Evaluasi Tentang Politik Luar Negeri”, Kamis (11/1/2024). Sumber: Humas Paramadina /

SEPUTAR CIBUBUR – Guna memberikan catatan awal seputar politik luar negeri Indonesia, Universitas Paramadina menggelar diskusi dengan tema “Catatan Awal Tahun: Menimbang Visi dan Misi Capres dan Evaluasi Tentang Politik Luar Negeri”, Kamis (11/1/2024).

Diskusi yang diselenggarakan secara daring dimoderatori oleh Muhammad Fajar Anandi SIP MGPP ini menghadirkan nara sumber Dr Theo L Sambuaga, Dr Peni Hanggarini -- dosen Program studi Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Asriana Issa Sofia MA, dan Dr M Riza Widyarsa.

Mengawali diskusi Theo mengatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu bagian dari ASEAN, yang memiliki kelemahan yakni setiap keputusan harus diambil berdasarkan konsensus.  Theo memberi contoh kasus Rohingya, dimana Indonesia dan beberapa negara ASEAN mempunyai prinsip untuk selalu menerima pengungsi Rohingya. 

“Dalam kasus Rohingya, ASEAN tidak pernah bisa mengambil keputusan secara konsensus sehingga selama ini kasus mengenai Rohingya menjadi terabaikan,” ujarnya.  

Baca Juga: 15 Tahun Pendidikan Antikorupsi Paramadina Tembok Harapan Lawan Budaya Korupsi

Contoh lain yang dipaparkan Theo, mengenai Laut Cina Selatan (LCS) karena adanya klaim antara negara seperti Vietnam, Filiphina, Malaysia, dan China dan Indonesia. “Terakhir China malah mengklaim sebagian ZEE Indonesia sebagai wilayahnya yang ditentang Indonesia dan juga PBB. Karena masalah saling klaim antar negara, keputusan soal LCS tidak bisa diambil kesepakatan bersama,” lanjut Theo.

Dr Peni Hanggarini  melihat bahwa diplomasi kebijakan luar negeri Indonesia selama 10 tahun terakhir yang harus diberi apresiasi adalah pencapaian prioritas, penguatan diplomasi ekonomi, diplomasi perlindungan WNI, diplomasi kedaulatan, diplomasi Indonesia bagi perdamaian dan stabilitas di kawasan dan dunia, serta  peningkatan infrastruktur diplomasi.

Peni berharap pada 10 bulan ke depan hendaknya lebih menekankan pada grand strategy diplomasi ekonomi dan grand strategy untuk meningkatkan peran strategis, serta peran strategis diaspora Indonesia. “Tinjauan terhadap Visi Misi para Capres perihal kebijakan luar negeri dan kritik para capres sebenarnya telah disampaikan oleh Menlu Retno Marsudi bahwa Diplomasi Indonesia tidaklah transaksional atau inward looking dan Indonesia telah berperan penting di tingkat multilateral,” kata Peni.

“Adapun pandangan terhadap kebijakan luar negeri Indonesia di masa mendatang bahwa ada tantangan dari lingkungan eksternal seperti, dampak rivalitas di Indo-Pasifik, dampak potensi perang berlarut, tantangan terhadap sentralitas ASEAN dan Peluang kerja sama organisasi antar kawasan,” tambahnya.

Baca Juga: Paramadina-INDEF Gelar Diskusi Publik Pemikiran Amartya Sen

Narasumber berikutnya, Asriana Issa Sofia MA melihat isu-isu globalisasi, soft power, nation branding, dan diplomasi publik merupakan masalah utama yang dihadapi Indonesia saat ini. “Soft power sebagai sebuah instrumen sebuah negara bisa memanage proses internasionalnya dengan berhubungan di level dunia, dengan menggunakan soft power. Dengan menggunakan instrument berbeda, yaitu approach diplomasi, international exchange, culture, culinary, dan sports,” kata Asriana.

Pada hard power, Asriana melihat national image atau national branding yakni apa yang secara otomatis menjadi reputasi yang tercetak bagi Indonesia dan bisa ditangkap. “Promosi/advertising tentang profil Indonesia yang harus dilihat oleh negara lain. Di situlah perlunya maksimalisasi soft power di samping hard power” kata Asriana.

Narasumber lainnya, Dr M Riza Widyarsa melihat pengguna internet di Indonesia cukup tinggi, hal tersebut dipengaruhi dengan populasi Indonesia itu sendiri. “Berdasarkan data BSSN tahun 2022, ada 976 juta serangan hacker di Indonesia, dan 14.75% kebocoran data secara sangat signifikan. Beberapa paslon juga membicarakan mengenai serangan cyber yang terjadi di Indonesia,” ujar Riza.

Riza memandang permasalahan yang terjadi adalah SDM yang memiliki kemampuan untuk membuat sebuah sistem pencegahan keamanan siber, karena data sangat privat dan sensitif. “Memang benar seperti yang dikatakan oleh salah satu paslon bahwa internet yang dimiliki oleh Indonesia harus bagus, cepat dan stabil. Tetapi harus diimbangi dengan SDM yang mumpuni dalam bidangnya,” ungkapnya.

Baca Juga: Gandeng Paramadina, KPK FGD Kembangkan Modul Strategi Kampanye Integritas

Tak hanya permasalahan siber, tetapi ada juga permasalahan keamanan pangan yang dihadapi oleh Indonesia mengutip data BPS kita masih melakukan impor terhadap susu, beras, dan lain sebagainya. “Hal ini yang membuat Indonesia menduduki peringkat ke-63 berdasarkan Global Food Security Indeks berdasarkan data pada tahun 2022. Oleh sebab itu, Indonesia sejak jaman Soeharto, SBY dan Jokowi membuat lumbung pangan atau food estate,” tambahnya.

“Program ketahanan pangan kita, berdampak besar terhadap lingkungan terutama di Kalimantan. Karena membabat hutan lindung sehingga membuat ekosistem menjadi rusak dan bersinggungan dengan tanah adat. Ditambah dengan jenis tanaman yang akan di tanam sehingga berdampak pada kerusakan alam,” tutup Riza. (Lucius GK)

Editor: Ruth Tobing

Sumber: Siaran Pers

Tags

Terkini

Terpopuler