Revisi UU MK Jadi Isu Menarik, Ini Penjelasannya

- 28 Mei 2024, 11:40 WIB
Webinar Universitas Paramadina dan LP3ES “Revisi UU Mahkamah Konstitusi: Bentuk Penyanderaan Hakim Konstitusi?”, 26 Mei 2024 secara daring. Sumber: Universitas Paramadina
Webinar Universitas Paramadina dan LP3ES “Revisi UU Mahkamah Konstitusi: Bentuk Penyanderaan Hakim Konstitusi?”, 26 Mei 2024 secara daring. Sumber: Universitas Paramadina /

SEPUTAR CIBUBUR - Direktur Eksekutif LP3ES Fahmi Wibawa mengatakan revisi terhadap Undang-Undang (UU) Mahkamah Konstitusi (MK) ini menjadi isu yang menarik perhatian berbagai kalangan, mulai dari akademisi, praktisi hukum, aktivis hingga masyarakat luas.

“Hal ini dikarenakan sangat strategisnya peran dan fungsi MK sebagai penjaga Marwah Konstitusi UUD 1945,” jelas Fahmi Wibawa, pada webinar yang diadakan oleh Universitas Paramadina dan LP3ES bertema “Revisi UU Mahkamah Konstitusi: Bentuk Penyanderaan Hakim Konstitusi?”, Minggu, 26 Mei 2024, melalui zoom meeting.

Menurut Fahmi hal ini memunculkan banyaknya pertanyaan, akankah hasil revisi berdampak terhadap independensi lembaga dan kinerja para hakim konstitusi.

Terkait hal ini, Didik J Rachbini, Rektor Universitas Paramadina mengungkapkan kegelisahannya. “Setelah Presiden Jokowi berhasil mereformasi dan melemahkan undang-undang KPK, maka undang-undang yang lain juga ringan. Sekarang giliran MK yang dicabik-cabik, bahkan sekarang dimainkan dengan adanya UU saat ini,” ujarnya.  

Baca Juga: Putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Akan Dibacakan Mahkamah Konstitusi (MK) Senin 22 April 2024

Ahmad Khoirul Umam Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI) memaparkan bahwa pada tahun 2022-2023 yang lalu sejumlah elemen politik yang memiliki kepentingan untuk mengamankan agenda-agenda kepentingan ekonomi politiknya, ternyata ‘dijegal’ oleh putusan-putusan MK.

“Hal itu dianggap sebuah ketimpangan karena 9 (Sembilan) hakim MK seolah-olah lebih powerfull dibandingkan dengan 500-an anggota parlemen yang ada saat ini. Padahal dalam konteks tertentu apa yang dilakukan MK bisa menjadi koreksi bagi proses legislasi yang dianggap agak serampangan,” tuturnya.

“Namun logika politik kita juga harus diperbaiki bahwa MK meskipun lembaga yudisial, tapi dia bukan sebuah lembaga yang berkarakter teknokratik yang kebal dari intervensi politik, manipulasi kekuasaan dan berbagai pengaruh ekonomi politik yang berasal dari lingkaran kekuasaan. Maka dari itu ketika muncul keputusan MK Nomor 90 seolah hal itu menjadi catatan berbeda, yang justru alami kemunduran dari perspektif penegakan konstitusi yang progresif di Indonesia,” jelasnya.

Umam kemudian mengkritisi poin-poin perubahan. “Maka jika misalnya revisi UU MK perlu dilakukan, maka yang tetap perlu dilakukan adalah fungsi pengawasan. Namun pada saat yang sama ada poin-poin yang perlu dilakukan perbaikan misalnya perlu ada hakim ad hoc yang menggantikan hakim MK yang berhalangan hadir, sehingga komposisi hakim tetap ganjil (9 orang),” tegasnya.

Baca Juga: Yusril Meyakini Mahkamah Konstitusi (MK) Menolak Gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024

Halaman:

Editor: Ruth Tobing

Sumber: Siaran Pers


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah