Revisi UU MK Jadi Isu Menarik, Ini Penjelasannya

- 28 Mei 2024, 11:40 WIB
Webinar Universitas Paramadina dan LP3ES “Revisi UU Mahkamah Konstitusi: Bentuk Penyanderaan Hakim Konstitusi?”, 26 Mei 2024 secara daring. Sumber: Universitas Paramadina
Webinar Universitas Paramadina dan LP3ES “Revisi UU Mahkamah Konstitusi: Bentuk Penyanderaan Hakim Konstitusi?”, 26 Mei 2024 secara daring. Sumber: Universitas Paramadina /

Hal tersebut dilakukan untuk menghindari adanya deadlock dalam penetapan putusan pilpres kemarin rasio hakim menjadi 4 : 4, maka tentu akan panjang sekali urusannya. “Tidak kalah penting, adalah proses dan seleksi dalam pengangkatan hakim MK yang harus transparan dan akuntabel. Ini sangat penting untuk menghindari proses seleksi yang terkesan lebih kuat aspek politisnya, begitu pula dengan lembaga penting lainnya seperti KPK,” kata Umam.

Mahaarum Kusuma Pertiwi, dosen Universitas Gadjah Mada memandang  revisi UU MK sejak beberapa tahun terakhir memang tercatat penuh dengan kontroversi. Misalnya pada UU No. 8/ 2011 tentang masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua, penjelasan tentang sifat final dan mengikat putusan MK  dengan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh; Menaikkan usia minimal dan usia pensiun.

Mahaarum juga memberikan catatan penting dari usulan revisi UU MK kali ini adalah revisi yang dibahas di masa reses DPR RI, lalu terkesan adanya political bribery pada tahun 2020 untuk memperlancar UU Cipta Kerja, dan juga kini adanya ancaman/hukuman terhadap hakim yang bersikap dissenting opinion pada sengketa Pilpres 2024.

“Belajar dari kasus Aswanto yang ‘direcall’ DPR yang merasa bertindak seperti ‘Komisaris’ dari MK hal mana MK harus mengikuti apa maunya anggota DPR RI, padahal MK adalah lembaga yudisial yang terpisah dan harus independen. Tidak menutup kemungkinan juga ke depan akan terjadi lagi terhadap hakim yang dissenting opinion masa sidang Pilpres 2024,” kata Mahaarum.

Baca Juga: Mahkamah Konstitusi (MK) Tegaskan Siap Menghadapi Sengketa Pemilu 2024

Kemudian catatan substansial lainnya dari usulan revisi UU MK yaitu masa jabatan hakim MK (10 tahun), yang setiap 5 tahun dievaluasi oleh lembaga pengusul. “Dari yang bisa diamati dari usulan revisi UU MK adalah terjadinya politisasi yudisial dengan cara cherry picking judicial activism dan terkesan intolerable injustice pada Putusan 90, dan berdalih putusan MK final serta mengikat, sehingga tidak bisa dilakukan upaya hukum apapun meskipun MKMK telah memutus adanya conflict of interest,” tutur Mahaarun. 

Narasumber lainnya Prof Fitra Arsil dari Universitas Indonesia menyatakan bahwa legislasi parlemen saat ini sedang tertekan dengan berbagai cabang kekuasaan lain yang juga concern terhadap legislasi, misalnya eksekutif via presiden legislative power.

“Kekuasan presiden yang cenderung campur tangan membentuk legislasi yang bisa mengabaikan parlemen, contoh kasus yang banyak terjadi seperti di Amerika Latin soal presiden legislative power cenderung ingin membuat legislasi dan mengabaikan parlemen.”

Dalam pandangan Fitra, ironi ini terjadi di Latin Amerika yang ternyata direstui oleh parlemen mirip legislasi parlementer, di mana keinginan Perdana Menteri yang ingin melakukan legislasi cenderung akan lolos di parlemen. Anehnya, hal itu juga terjadi di sistem presidensial, dengan oversize coalition, terjadi parlemen menyerahkan kekuasaan legislasinya ke presiden. Di sisi lain, ternyata juga ada kekuasaan kehakiman yang membentuk public policy. Judicial modern juga ternyata melakukan aktivitas tersebut.

“Pembedanya meski mereka semua melakukan legislasi, tapi ketika berbicara kekuasaan legislasi yang dilakukan oleh parlemen, dia punya fungsi representasi yang membedakan dengan lembaga lainnya,” tutur Fitra.

Halaman:

Editor: Ruth Tobing

Sumber: Siaran Pers


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah