Telah Kuasai Teknologi, CTIS: Ahli-ahli Indonesia Siap Dukung Industri Roket Nasional  

26 November 2023, 12:53 WIB
Diskusi CTIS Tentang Peroketan di Indonesia, dengan Narasumber Dr.Adi Sadewo Salatun (No.4 dari kiri) dan Moderator Professor Harijono Djojodihardjo (No.2 dari Kiri) di Jakarta, 22 November 2023 /CTIS/

 

SEPUTAR CIBUBUR - Ahli-ahli Indonesia sudah semakin menguasai teknologi peroketan, terutama yang berkaitan dengan bahan bakar padat roket sejak Roket Kartika-1 diluncurkan hamper 60 tahun lalu atau tepatnya pada 14 Agustus 1964.

Inilah kesempatan untuk alih teknologi peroketan dan peningkatan nilai tambah Nasional menuju kemandirian pada program peroketan domestik, terutama di sektor industri pertahanan. 

Demikian kesimpulan Diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu 22 November 2023.  

Baca Juga: Jokowi Tunjuk Nawawi Pomolango Gantikan Firli Sebagai Ketua KPK

Berbicara dalam diskusi berjudul ‘Pengembangan Peroketan Nasional: Permasalahan dan Tantangan’, adalah Mantan Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Dr. Adi Sadewo Salatun dan dimoderatori oleh Ilmuwan Senior CTIS, yang juga mantan Kepala LAPAN Professor Harijono Djojodihardjo.

Peluncuran Roket Kartika-I yang berbobot 220 Kilogram dari Stasiun Peluncuran Roket, Pameungpeuk, Jawa Barat, dengan jarak luncur maksimum 60 kilometer itu, adalah kado HUT RI ke 19 (1964).  Momen itu juga menempatkan menempatkan Indonesia sebagai negara kedua di Asia sesudah Jepang, yang berhasil meluncurkan roket ke ruang angkasa. 

Pada dekade 1960-an, bekerja sama dengan Jepang, LAPAN meluncurkan roket-roket jenis KAPPA yang bisa mencapai ketinggian 160 kilometer.  Bahan bakar padat propelan roket KAPPA terbilang rumit karena harus disiapkan pada kondisi -18 derajat celsius.  Apabila temperatur bahan bakar padat meningkat cepat sebelum peluncuran maka roket bisa meledak. 

Adi menyatakan bahwa riset membuat bahan bakar padat untuk propelan roket di Indonesia dilaksanakan bertahun-tahun, karena memang ini adalah komponen yang paling rumit.

Para ahli Indonesia harus bekerja ekstra keras untuk menguasai teknologi bahan bakar padat propelan roket tadi. Apalagi banyak pihak tidak ingin Indonesia memiliki kemampuan teknologi ini.  Pasalnya, bila Indonesia menguasai teknologi pembuatan roket dan bahan bakar padatnya secara mandiri maka bisa membuat banyak negara khawatir, karena roket selain bisa dipakai untuk membawa muatan sensor telekomunikasi, sensor sonda telemetri atau muatan satelit juga dipakai untuk membawa hulu ledak konvensional, bahkan membawa hulu ledak nuklir. 

Kerja keras para ahli Indonesia membuahkan hasil bahan bakar padat roket Hydroxy Terminated Poly Butadiene (HTPB) sebagai fuel binder, kemudian Amonium Preklorat sebagai oksidator dan Toulene Di-Isocyanate (TDI) sebagai curing agent.  Sedang desain roketnya sudah mencapai desain roket diameter 320 milimeter sebagai roket RX-320, juga desain roket 450 milimeter sebagai roket RX-450.

Tentu kemampuan penguasaan teknologi tinggi ini, perlu diterapkan dan kegiatan riset peroketan harus sejalan dengan program pembangunan di Indonesia secara keseluruhan. 

Peserta diskusi sepakat bahwa hasil karya monumental para ahli peroketan Indonesia ini perlu dimanfaatkan oleh masyarakat.  Pada 2013 – 2014 lalu, sebenarnya telah dirintis Konsorsium Roket Nasional (KRN) dengan PT. Dirgantara Indonesia membuat struktur roket, LAPAN membuat motor roket, Pindad memproduksi hulu ledak, sedang PT. Dahana menyediakan bahan bakar padatnya. Konsorsium ini telah menghasilkan Roket RHAN-122 dengan jarak jangkau 15 kilometer.  Pola seperti ini perlu dipacu. 

Kerja sama dengan mitra internasional yang memasok roket-roket peralatan utama sistem persenjataan (alutista) TNI perlu digalang. Dimulai dengan kerja sama pengadaan bahan bakar padat karena komponen ini memiliki masa kadaluwarsa, yang apabila roket tidak digunakan maka masa pakai bahan bakar padatnya akan habis. 

Baca Juga: CTIS Bahas Energi Biomassa, Pendukung Transisi Energi yang Butuh Dukungan Kebijakan

Banyak alutsista TNI yang menggunakan roket, seperti roket  RM-70 Grad Korps Marinir TNI-AL. Ada juga roket Multilaras ASTROS TNI-AD buatan Brasil, rudal rudal Excocet TNI-AL juga menggunakan bahan bakar roket, belum lagi roket-roket yang dipasang pada pesawat pesawat tempur TNI-AU, seperti AIM-9 Sidewinder. 

Kesemua roket tadi memerlukan bahan bakar padat dan Indonesia sudah menguasai kemampuan membuat bahan bakar padat ini.  Awal program alih teknologi peroketan, sekaligus peningkatan nilai tambah produk nasional di bidang peroketan bisa dimulai dari sini.  Apalagi, sesuai UU No.16/Th.2012 Tentang Industri Pertahanan, mewajibkan semaksimal mungkin penggunaan kemampuan Nasional dalam pembangunan alutsista. ****

Editor: sugiharto basith budiman

Tags

Terkini

Terpopuler