Hakim MK Wahiduddin Adams: UU KPK Bertentangan dengan UUD 1945

4 Mei 2021, 22:28 WIB
Tangkapan layar siaran live pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi tentang uji formil UU KPK, Selasa 4 Mei 2021 /Youtube/Mahkamah Konstitusi RI

SEPUTAR CIBUBUR - Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji formil terhadap UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diajukan oleh mantan pimpinan KPK periode 2015-2019, Agus Rahardjo, Laode Muhammad Syarif,  Saut Situmorang dan sejumlah tokoh lainnya.

Meski demikian putusan itu tidak bulat. Ada satu perbedaan pendapat atau dissenting opinion diantara majelis hakim dalam memutuskan perkara tersebut.

Satu hakim yang memiliki disenting opinion adalah Wahiddudin Adams.

Baca Juga: Mahkamah Konstitusi Tolak Gugatan Uji Formil UU KPK

"Satu orang hakim konstitusi yaitu hakim konstitusi Wahiddudin Adams memiliki pendapat berbeda," kata Hakim MK Anwar Usman dalam pembacaan putusan yang disiarkan live melalui Youtube MK, Selasa 4 Mei 2021.

Dalam perbedaan pendapatnya, Wahiduddin Adams menyampaikan bahwa perbedaan pendapat itu terjadi setelah mencermati pokok permohonan, dinamika persidangan dan karakteristik tiap-tiap perkara dalam pengujian UU 19/2019 terhadap Undang-undang Dasar.

Wahiduddin menyatakan dia memiliki keyakian yang sama dengan saksi ahli Bagir Manan. Meski pembentukan UU 19/2019 hanya seolah-olah undang-undang perubahan, kenyataan UU tersebut adalah UU baru.

Dia melanjutkan, beberapa perubahan ketentuan mengenai KPK dalam UU 19/2019 secara nyata telah mengubah postur, struktur, arsitektur, dan fungsi KPK secara fundamental.

Perubahan ini sangat nampak sengaja dilakukan dalam jangka waktu yang relatif sangat singkat serta dilakukan pada momentum yang spesifik.

Baca Juga: Sepasang Remaja di Palembang Terciduk Sedang ‘Indehoi’ di Kuburan Cina

"Yakni Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Hasil Pemilihan Umum Legislatif telah diketahui dan kemudian mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden untuk disahkan Presiden menjadi undang-undang hanya beberapa hari menjelang berakhirnya masa bakti anggota DPR RI periode 2014-2019 dan beberapa minggu menjelang berakhirnya pemerintahan Presiden Joko Widodo periode pertama," ujarnya.

Wahiduddin juga menjelaskan pmebentukan UU yang dalam waktu yang relatif singkat dan dilakukan pada momentum spesifik yang mengundang pertanyaan besar memang tidaklah secara langsung menyebabkan UU tersebut inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Namun, singkatnya waktu pembentukan UU 19/2019 jelas berpengaruh secara signifikan terhadap sangat minimnya partisipasi masyarakat, serta sangat minimnya kajian dampak analisis terhadap pihak khususnya lembaga yang akan melaksanakan ketentuan UU19/2019 dalam hal ini KPK.

Baca Juga: ICW: Pemecatan Novel Baswedan Episode Akhir Pembunuhan KPK

Wahiduddin juga menilai ada ketidaksinkronan antara Naskah Akademik yang cenderung berorientasi pada pembentukan UU perubahan dengan RUU yang telah sejak awal berorientasi membentuk UU baru.

Wahiduddin menyatakan dalam memutus perkara ini ada tiga opsi putusan. Pertama, menolak permohonan pemohon. Kedua MK memperbaiki beberapa materi dalam UU 19/2019 dengan mengabulkan sebagian permohonan pemohon, atau ketiga menyatakan UU 19/2019 bertentangan dengan UUD 1945.

"Berdasarkan 3 opsi koridor untuk memutus perkara pengujian di atas, saya berijtihad untuk menempuh koridor "jalan tengah terbaik" yang saya yakini, yaitu menyatakan bahwa pembentukan undang-undang a quo bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, sehingga undang-undang a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ujar dia.***

Editor: sugiharto basith budiman

Sumber: Youtube MK RI

Tags

Terkini

Terpopuler